Sabtu, 03 Mei 2008

Gunung Gambar,Pertapaan Samber Nyawa

Gunung Gambar adalah bekas pertapaan Raden Mas Said atau lebih dikenal sebagai Pangeran Samber Nyawa pada masa perang melawan penjajah Belanda.Obyek wisata yang terletak di desa Kampung, Ngawen, Gunung Kidul ini terus dikembangkan dengan berbagai fasilitas pendukung untuk memudahkan para pengunjung dalam menikmati pemandangan di sekitarnya. Berjarak 39 Km dari kota Wonosari atau 70 Km dari kota Yogyakarta, obyek wisata ini bisa dicapai dengan segala kendaraan. Obyek wisata Gunung Gambar terletak 200 meter lebih di atas permukaan laut sehingga apabila berdiri di puncaknya kita dapat melihat rawa Jombor di Klaten serta genangan waduk Gajah Mungkur di kejauhan. Dengan kelengkapan toilet, jalan setapak dan gardu pandang serta jalan setapak menuju ke bekas pertapaan Pangeran Samber Nyawa, Obyek wisata ini bertambah nyaman untuk dikunjungi.

Misteri Seorang Anak Desa Kemusuk

"Saya ini benar-benar kelahiran Desa Kemusuk dan memang anak petani dari Desa Kemusuk...."

Suara bariton Soeharto menguasai ruang kerja kepresidenan di Bina Graha, Jakarta, Senin siang pada pengujung Oktober 1974. Di dalam gedung di samping Istana Negara itu, Soeharto mengundang sekitar seratus wartawan dalam dan luar negeri. Acaranya, Soeharto menceritakan tentang silsilah riwayat hidupnya.

Pertemuan yang juga dihadiri sejumlah pejabat teras saat itu memang langka. Boleh dibilang, hampir tak pernah terjadi Kepala Negara, yang pada dasarnya pendiam itu, membentangkan satu bagian dari sejarah hidupnya secara khusus kepada publik selama sekitar dua jam. Mengapa?

Semua bermula dari artikel majalah POP yang terbit di Jakarta. Dalam edisi No. 17, Oktober 1974, POP--singkatan Peragaan, Olahraga, Perfilman--terbit dengan tulisan bertajuk Teka-teki Sekitar Garis Keturunan Soeharto. "Tulisan itu tidak saja merugikan saya pribadi, tapi juga keluarga dan leluhur saya," kata Soeharto di hadapan wartawan waktu itu.

Tulisan lima halaman itu bercerita tentang silsilah riwayat hidup Soeharto. Kisahnya berbeda dengan silsilah yang ditulis dalam buku The Smiling General karya O.G. Roeder terbitan Gunung Agung, Jakarta, 1969. Menurut artikel itu, Soeharto sebenarnya anak seorang priayi keturunan Sri Sultan Hamengku Buwono II. Priayi itu bernama R.L. Prawirowiyono, yang bergelar R. Rio Padmodipuro.

Suatu hari, Rio terpaksa menitipkan istri dan anaknya kepada orang desa yang bernama Kertorejo, sebab ia harus menikah lagi dengan putri seorang wedana yang berpengaruh. Kala itu si anak, katanya bernama R. Soeharto, telah berusia 6-7 tahun. Ini sebuah tragedi yang sungguh menyedihkan, kata majalah itu mengutip ucapan seseorang.

Sejak itu ayah, ibu, dan anak tak pernah mencoba saling berhubungan lagi. Hingga sang ayah meninggal pada 1962, ia tak sempat melihat wajah putranya yang telah dibuangnya, yang tak lain--menurut majalah POP dengan nada pasti--adalah Soeharto, Presiden RI kedua dan penguasa Orde Baru.

Sebenarnya, sekitar dua tahun sebelum artikel POP itu terbit, bisik-bisik tentang "silsilah" tersebut mulai santer di Yogyakarta. Dan hasilnya tampaknya telah dikirimkan kepada Soeharto langsung. Seperti diungkapkan Soeharto di depan ratusan wartawan di Bina Graha pada 28 Oktober 1974, soal silsilah itu telah lama didengarnya. "Bahkan ada yang tulis surat kepada saya dalam bentuk cerita," katanya.

Menurut Soeharto, isi ceritanya tentang seseorang yang kehilangan anaknya sejak kecil dan selalu dicari, sekarang ini bisa diketemukan. Bahkan anak itu telah memperoleh kedudukan tertinggi, menjadi presiden. Si orang tua yang mencari kini mengharapkan kedatangan anak itu untuk menerima warisan.

Saat itu, Soeharto segera mafhum apa yang dimaksud. Karena ia tahu siapa yang menulis surat itu (Soeharto tak menyebut nama), maka dijawabnya: gambaran bahwa dia si anak yang dicari dan kemudian ditemukan itu tak benar. "Saya adalah anak yang dilahirkan di Desa Kemusuk," katanya menegaskan.

Soeharto lalu menceritakan kisah hidupnya. Katanya, ia dilahirkan pada 8 Juni 1921 di Desa Kemusuk, sebuah desa terpencil di wilayah Argomulyo, Godean, sebelah barat Kota Yogyakarta. Ibunya bernama Sukirah. Sedangkan ayahnya, Kertosudiro, adalah ulu-ulu atau petugas desa pengatur air yang bertani di atas tanah lungguh, tanah jabatan selama memikul tugasnya itu. "Beliau yang memberi nama Soeharto kepada saya."

Kertosudiro, menurut keterangan Soeharto, seorang duda beranak dua. Jadi, ia anak ketiga dari Kertosudiro dengan ibu Sukirah. Hanya, hubungan Kertosudiro-Sukirah ternyata kurang serasi sehingga, begitu Soeharto lahir, orang tuanya bercerai. Soeharto kemudian diasuh Mbah Kromodiryo, dukun yang biasa menolong orang melahirkan, termasuk menolong kelahiran Soeharto. "Nama panggilannya adalah Mbah Kromo, adik kakek saya, Mbah Kertoirono," kata Soeharto.

Beberapa tahun kemudian Ibu Sukirah menikah lagi dengan seseorang bernama Atmopawiro. Pernikahannya itu melahirkan tujuh orang anak: Sukiyem, Sucipto, Nyonya Haryowiyatmo, Probosutejo, Suminah, Suwito, dan Nyonya Suharjo. Sedangkan ayah Soeharto juga menikah lagi. Dan dari pernikahan yang ketiganya itu ia mendapat empat anak lagi: Nyonya Harsono, Santoso, Nyonya Juhron, dan Nyonya Tubagus Sulaeman.

Begitulah Soeharto mengisahkan sejarah hidupnya. Waktu itu, silsilah versi resmi Soeharto itu dibagi-bagikan kepada para wartawan. Yang jelas, dalam pandangan Soeharto, tuduhan yang dimuat POP itu bisa menimbulkan perdebatan dan perbedaan serius dalam masyarakat. Sebab, tuduhan itu memberikan kesempatan yang baik untuk subversi, mengganggu stabilitas nasional, dan akan mempermalukan bangsa. "Juga akan menciptakan ketidakpercayaan kepada pemimpinnya," Soeharto menandaskan.

Tapi, benarkah artikel dalam majalah POP itu gosip belaka? Dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, awal Januari 1975, Rey Hanityo, Pemimpin Redaksi dan Penanggung Jawab POP, menyodorkan pembelaan. Katanya, artikel tentang silsilah riwayat hidup Soeharto itu merupakan hasil penelitian wartawan POP dari sumber berita yang dapat dipercaya. Dan tulisan itu sedikit pun tak bermaksud menghina presiden. Itu sekadar menyumbangkan tulisan untuk bahan perbandingan antara versi majalah POP dan buku The Smiling General karya O.G. Roeder. Harapannya, "Pak Harto sudi menerimanya untuk jadi bahan baru," ujar Rey kepada Tempo saat itu.

Tapi Soeharto malah berang. Ia membantah semua yang ditulis POP. Dan majalah itu pun dibredel: Surat Izin Cetak dan Surat Izin Terbit dicabut. Rey Hanityo--yang asal Tegal, Jawa Tengah--dijebloskan ke penjara. Tamatlah riwayat majalah dwi-mingguan itu. Padahal, tulisan itu seharusnya bersambung pada edisi berikutnya.

Tempo mencoba menyibak misteri di sekitar silsilah Kemusuk itu. Romo Satroatmojo, abdi dalem juru serat keraton, sekaligus ipar R. Rio Padmodipuro, mengungkapkan bahwa ia menyaksikan langsung kelahiran Soeharto. Menurut dia, Soeharto merupakan anak bekel (abdi dalem) Prawirowiyono, yang kemudian bergelar R. Rio Padmodipuro, dari istri pertamanya: Sukirah.

Pada usia 0-7 tahun, Soeharto tinggal di belakang Jayeng Prakosan di Suronatan, Yogyakarta. Setelah itu, Soeharto kecil kemudian diboyong ke Desa Kemusuk. Tapi sayang, ayahnya melupakannya dan tak pernah mengirimkan nafkah karena takut kepada mertuanya, Jayeng Prakosa, yang saat itu mempunyai kekuasaan besar dan punya kedekatan dengan Sultan Hamengku Buwono VII, sebagai raja saat itu.

Setelah Soeharto diungsikan ke Kemusuk, beberapa kali kakak Rio, RA Martopuro, menengoknya. Bahkan ia ingin memboyong Soeharto ke rumahnya, di nDalem Notoprajan, namun ditentang adiknya, Jayeng Turangga. Upaya RA Martopuro itu sesungguhnya juga atas keinginan Rio, agar ayah-anak itu tak kehilangan jejak. "Rio, yang pendiam dan takut pada istri kedua dan mertuanya, akhirnya mengalah diam," ujar Romo Sas, panggilan akrabnya, kepada Tempo yang menemuinya dua tahun sebelum ia meninggal pada 2004.

Kisah serupa dituturkan Romo Gayeng. Menurut dia, ayahnya, Raden Mas Purbowaseso (dulu juga dipanggil Romo Gayeng), pernah menceritakan riwayat Soeharto. "Kesaksian itu dimuat majalah POP edisi Oktober 1974," katanya saat ditemui di rumahnya di Kampung Jambu, Yogyakarta, Agustus 2001 lalu.

Ayah Romo Gayeng, RM Purbowaseso, adalah kakak kandung R. Rio Padmodipuro. Ketika Soeharto lahir, R. Rio Padmodipuro masih berpangkat bekel (abdi dalem) dan bernama R.B. Prawirowiyono. Setelah menikah, ia tinggal di Kampung Suronatan sampai lahirnya Soeharto.
Kelahiran Soeharto ternyata tak membawa kebahagiaan bagi Sukirah, karena Prawirowiyono diambil menantu oleh Mas Wedono Jayeng Prakosa, seorang wedana keraton yang dekat dan disayang Sri Sultan Hamengku Buwono VII. "Pengaruh Jayeng Prakosa yang sangat kuat membuat Prawirowiyono tak berani menolak."

Takut akan mempengaruhi kedudukannya, ia mengungsikan istri dan anaknya (Soeharto) yang masih bayi ke sebuah rumah di belakang Jayeng Prakosan. Walau telah disembunyikan, akhirnya tetap tercium oleh istri keduanya. Karena bingung, ia mengungsikan istri pertama dan anaknya ke luar kota, di rumah seorang kenalannya yang mempunyai jabatan ulu-ulu di Desa Kemusuk, Argomulyo, Yogyakarta, bernama Kertorejo. "Pada waktu itu umur Soeharto baru sekitar 6-7 tahun," ia menjelaskan.

Begitulah. Mungkin yang cukup menarik adalah pernyataan Sumitro Djojohadikusumo dalam otobiografinya, Jejak Perlawanan Begawan Pejuang. Menurut Sumitro, dalam acara lamaran Prabowo-Titiek, Soeharto pernah berkisah tentang masa kecilnya. Katanya, sewaktu berusia sepuluh tahun, "Soeharto menjadi rebutan antara orang tua angkatnya dan ayah kandungnya yang berasal dari lingkungan keraton."

Bila pernyataan Sumitro itu benar, jelaslah bahwa Soeharto memang pernah keceplosan bicara tentang dirinya yang memang keturunan seorang priayi keraton. Jadi, ia bukan anak petani dari Kemusuk seperti selama ini dikemukakannya. Soalnya: mengapa ia keberatan mengaku sebagai keturunan keraton dan memilih menyebut diri anak petani? Adakah hubungannya dengan jabatannya sebagai presiden, yang tentu lebih "dramatis" jika presiden datang dari rakyat kebanyakan?
Sumber: Majalah TEMPO, Edisi 4 - 10 Februari 2008

Gua Mandala Sari

Berikut Adalah Gua Mandala Sari yang Kondang dengan sebutan Gua Semar
Gua Semar atau Gua Mandala Sari, yaitu istana Begawan Sampoerna Djati (Semar), berada di ketinggian lebih dari 2.000 meter di atas permukaan laut. Letaknya di antara kawasan pariwisata. Gampang dijangkau--satu jam perjalanan dari alun-alun Wonosobo--tapi tak mudah memasukinya. Dengan kata lain, harus menempuh rantai izin yang panjang. Pertama-tama, Tempo minta izin ke sang juru kunci. Sang guru kunci itu harus minta izin ke beberapa sesepuh sakti di perkampungan itu. Setelah semua terpenuhi, barulah keluar cerita dari mulut Rusmanto, juru kunci Gua Semar.

Sebelum sampai ke Gua Semar, tutur Rusmanto, Soeharto telah melakukan serangkaian pertapaan: di Gua Jambe Lima dan Gua Jambe Pitu, lalu Gua Suci Rahayu di kawasan Gunung Selok, Cilacap, Jawa Tengah. "Di Suci Rahayu itulah Soeharto melakukan penyucian awal," kata Rusmanto.

Langkah selanjutnya, bertapa ke Gunung Srandil, masih di Cilacap. Gunung di tepi pantai itu dikenal sebagai tempat khusus untuk ziarah. Di sanalah dimakamkan para leluhur tanah Jawa: Eyang Agung Heru Cokro, Eyang Sukmo Sejati, Eyang Kaki Tunggul Sabdo Jaati Doyo Amongrogo, Nini Dewi Tanjung Sekar Sari, dan Eyang Lalangbuono atau yang lebih terkenal disebut Ismoyo Ratu.

Dari sana, Soeharto melanjutkan tapa di Gunung Lawu, tempat menghilangnya raga Raja Brawijaya. Empat tahap pertapaan, di Argo Dalam, Argo Tumila, Argo Piruso, dan Argo Tiling. Setelah itu, ia bertapa lagi di sebuah gunung kecil di Kecamatan Bobotsari, Purbalingga, Jawa Tengah. Selain bertapa, di gunung tersebut juga ada acara nyekar di makam Syekh Jamu Karang. "Barulah setelah itu, lokasi terakhir pertapaan dilakukan di kawasan Dieng," ucap Rusmanto.

Ketika Soeharto datang, kondisi Dieng belum sebagus sekarang. Jalannya berbatu-batu, menanjak dan berlubang. Menurut Rusmanto, Gua Semar istana terakhir Mandala Sari alias Semar. Di gua itulah Semar bersemadi abadi setelah pertapaan di berbagai tempat. Menurut kepercayaan, urut-urutan pertapaan di tanah Jawa selalu berakhir di kawasan Dieng.

Rusmanto tak langsung mengantar Soeharto bertapa. Ia mendapat cerita yang sah dan lengkap--tentang perjalanan tapa Soeharto--dari pamannya, Darmaji, yang ketika itu menjadi juru kunci. Ketika bertapa, Soeharto hanya ditemani oleh juru kunci Darmaji. Para pengawalnya menunggu pada jarak yang agak jauh. Sebelum bertapa, Soeharto harus melakukan bimolukar, atau mandi lulur untuk menghilangkan nafsu angkara murka.

Dari Gua Semar, Soeharto mandi di Telaga Warna, telaga yang melambangkan empat nafsu yang harus dikendalikan: lawamah, amarah, sufiyah, dan mutmainah. Dan pengendalian nafsu itu dilakukan di Gua Jaran, gua yang terletak di sebelah utara Gua Semar. Disebut jaran (kuda) karena gua itu, menurut cerita leluhur di Dieng, awalnya adalah jaran milik Resi Kendali Seto yang bertujuan mengendalikan nafsu manusia yang ada di aliran hitam dan putih.

Gua selanjutnya adalah Gua Sumur. Sedikit lebih lebar dari Gua Semar, dan memiliki sumber air yang tingginya stabil. Musim hujan atau kemarau, volume airnya tetap. Sumber air di gua tersebut juga disebut air kehidupan. Dari penghuni Gua Sumur Soeharto mendapat petunjuk: jangan ragu untuk pasrah kepada Sang Kuwasa (Yang Kuasa), agar selalu dilindungi atau disembuhkan dari berbagai penyakit.

Soeharto menutup perjalanan tapanya di Kawah Si Kijang, simbol hewan yang bisa dijadikan contoh bagi manusia atas kepintaran dan rasa rendah hatinya. Dilanjutkan ke Kawah Sileri, kawah yang mengajarkan agar orang hidup untuk tidak melanggar empat wewaler (aturan), yakni aturan keluarga, masyarakat, negara, dan Tuhan. Dan dua tahap selanjutnya adalah menuju Sumur Jolotundo dan Kawah Condrodimuko.
Sumber: Majalah TEMPO, Edisi 4- 10 Februari 2008

Sendang Semanggi Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta


Pengantar;

Sendang Semanggi terletak di sebelah barat Pabrik gula Madukismo Bantul-Yogyakarta kini terlihat sepi sepi saja namun bila kita mau untuk melihat perjalanan masa lalunya maka dari Sendang Semanggi ini lah kisah Spiritual pemimpin negeri ini pernah berjelajah spiritual di Sendang ini.Berikut petikan kisahnya.

Rama Marta, Rama Dijat, Rama Mesran, Rama Budi Utomo adalah guru-guru kebatinan Jawa yang dipercaya Soeharto. Konon, melalui Soejono Hoemardhani, Soeharto mendengarkan informasi gaib mereka yang sering menjadi landasan kebijakan politiknya.


Pohon beringin, pohon pamrih, pohon sambi. Dinaungi tiga pohon itu, sendang di pebukitan kapur itu tampak teduh. Air sendang sangat jernih hingga endapan lumpur di dasar terlihat dengan jelas.
Kalangan kebatinan Jawa mengenal mata air dalam cekungan batu kapur itu dulu adalah tempat almarhum Rama Martapangarsa, seorang spiritualis Yogyakarta, menempa diri. Syahdan, pada 1940-an, Martapangarsa mendapat wisik agar menyusuri Gunung Sempu. Dia menemukan sebuah mata air yang dirasanya cocok untuk tempat berendam, mengasah kepekaan. Ia menamakannya Sendang Titis, artinya kolam untuk berlatih menajamkan hati. Dibangunnya sebuah padepokan alit, lalu ia tinggal di situ, meninggalkan rumahnya di bilangan Nataprajan, Yogya.

Untuk menuju sendang yang terletak di Dusun Semanggi, Kelurahan Bangunjiwo, Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul, DIY, itu kini tidak terlalu sulit. Ada jalan aspal, meski agak sempit, yang membelah pebukitan kapur tersebut. Sampai di sana, di pendapa bercat kuning yang lusuh, kita masih dapat melihat lukisan wajah almarhum Martapangarsa tergantung di dinding balai. Lukisan itu diapit potret dua almarhum guru lain: Rama Dijat dan Rama Budi Utomo.


Kalangan kebatinan Jawa tahu, sendang itu pernah melintas dalam kehidupan kebatinan Soeharto. Di situlah, pada 1957, lama sebelum Soeharto menjadi presiden, ia oleh Rama Marta dibaptis menjalani "ikatan persaudaraan mistikal" dengan Soedjono Hoemardhani. Dr Budyapradipta, pakar sastra Jawa Universitas Indonesia yang menjadi sekretaris pribadi Soedjono Hoemardani pada 1983–1986, pernah mendengar kisah ini langsung dari mulut Soedjono Hoemardani.


"Pak Djono bercerita di Sendang Titis itulah Rama Marta membaptis Pak Harto menjadi Rama, Pak Djono menjadi Lesmana, Bu Tien menjadi Sinta, Bu Jono menjadi Kunti."
Yang datang pertama kali ke sendang, menurut cerita Soedjono itu, adalah Soedjono dan istrinya. Rama Marta telah menunggu. Baru kemudian datang Soeharto dan Tien. Begitu Soeharto datang, Rama Marta seperti seolah membaca tanda-tanda, kemudian berkata: "Lha iki jago wirig kuningku (lha ini jago aduanku datang)." Wirig kuning dalam budaya Jawa adalah ayam jago yang kaki dan paruhnya berwarna kuning dan dikenal tangguh dalam bertarung.


Pertemuan pertama Soeharto dengan Soedjono terjadi pada Juni 1956 saat bertugas di Semarang. Letnan kolonel Soeharto menjadi kepala staf dan kemudian Panglima Divisi Diponegoro. Pada waktu itu Soedjono adalah kapten. Soedjono dikenal menyukai dunia kebatinan Jawa. Keduanya menemukan kecocokan.


Akhir 1957, Soedjono memainkan peran penting membentuk beberapa perusahaan swasta atas nama Divisi Diponegoro. Saat menjadi presiden, "utang budi" Soeharto kepada Soedjono terus meningkat. Soedjono pada awal Orde Baru ditunjuk Soeharto menjadi staf pribadi (spri) dan kemudian asisten pribadi di bidang ekonomi pada 1966–1974. Setelah kerusuhan anti-Jepang (Malari), Soeharto membubarkan posisi aspri.


Soedjono tidak memiliki jabatan penting. Tapi banyak yang menyebut justru pada saat itulah Soedjono aktif mendukung Soeharto secara spiritual. Soedjono melakukan ritual-ritual. Saat itu kesibukan Soeharto meningkat sehingga tak sempat melakukannya. Soedjono juga memantau terus perkembangan sosial-politik secara gaib. Menurut Budyapradipta, itu dilakukan melalui bantuan guru-guru laku Jawa yang dikenalnya selama bergaul dengan Soeharto.


Setelah kembali ke Jakarta, sejak menjadi Panglima Diponegoro, Soeharto, misalnya, sering berdiskusi dengan Mesran Hadi Prayitno, seorang perwira menengah Angkatan Darat yang sama-sama menyukai spiritualitas Jawa. Kepada Soeharto, Mesran menyarankan, jika benar-benar ingin memperdalam spiritualitas Jawa, Soeharto harus bertemu dengan seorang guru bernama Raden Panji Soedijat Prawirokoesoemo atau yang lebih dikenal sebagai Rama Dijat.


Pada 1963, Mesran dan Soeharto bertemu Rama Dijat di rumah orang tua Romo Dijat yang bernama Prawiro Dinomo di Dukuh Gopetan, Desa Gemblegan Kalipotes, Klaten. Soeharto kaget, ternyata Rama Dijat adalah lelaki misterius yang pernah ditemuinya pada 1961 saat ia melakukan ziarah di makam leluhur raja-raja Majapahit di situs Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur.


Waktu itu Soeharto melihat seorang lelaki yang tengah melakukan meditasi dan berhasil melakukan komunikasi dengan alam gaib. Usai meditasi, lelaki tersebut meninggalkan Trowulan. Soeharto terkesan, kagum dan penasaran terhadap lelaki itu. Ia ingin tahu lebih banyak tentang laki-laki itu, tapi laki-laki itu telah menghilang. Dan kini ternyata sosok penuh teka-teki itu ada di hadapannya.


Pada pertemuan Klaten itu, Soeharto langsung menyatakan diri menjadi murid Rama Dijat. Rama Dijat sendiri saat itu tinggal di Semarang. Soeharto kemudian hampir tidak pernah absen mengikuti sarasehan antara Rama Dijat dan murid-muridnya setiap selapan (35 hari) pada Selasa Pahing malam yang dilakukan di rumah Rama Dijat, Jalan Sriwijaya 70 Semarang. Tak hanya acara selapan, setiap membutuhkan konsultasi, Soeharto datang ke Semarang. Saat menjadi presiden, di luar jadwal kepresidenan, Soeharto masih menyempatkan diri ke Semarang. Tak jarang Rama Dijat via Soedjono diundang ke istana atau diutus mencari sesuatu.
"Pak Djono pernah bercerita bagaimana ia bersama Romo Dijat mencari pohon wijayakusuma di dekat Nusakambangan yang lautnya ganas," tutur Budyapradipta. Bunga wijayakusuma dalam kisah pewayangan adalah senjata Kresna. Di Jawa, banyak tumbuh bunga wijayakusuma. Bunga ini mengeluarkan bau harum pada waktu dini hari. Namun, ternyata Rama Dijat bukan hanya mencari bunga ini.


Bunga wijayakusuma yang diinginkan, menurut mereka, hanya tumbuh di sebuah pulau kecil dekat Nusakambangan. Dengan bentuk kecil-kecil, bunga Wijayakusuma dipercaya memberi tanda negara bakal baik. Setelah Soedjono dan Rama Dijat mendapatkannya, pohon ini ditanam di Cendana, Keraton Solo, dan rumah Soedjono.


***
Rama Marta, Rama Budi Utama, Rama Dijat, dan Rama Mesran boleh dianggap sebagai "ring satu" dunia kebatinan Soeharto pada masa lalu. Mereka dianggap memiliki daya linuwih, terutama karena kemampuan berdialog dengan roh leluhur melalui teknik meditasi yang dalam bahasa Jawa disebut njarwa.

Kebudayaan Jawa memiliki cara tua yang telah teruji ratusan tahun untuk mampu berkomunikasi dengan leluhur. Leluhur ini dianggap utusan Tuhan yang pernah terlahirkan sebagai manusia. Leluhur ini akan memberikan pesan-pesan (dhawuh). Ketika masuk dalam diri seorang medium, kata-kata leluhur ini hadir di anak lidah (kerongkongan) medium, hingga leluhur itu bisa diajak berdialog secara sadar.


Hal ini berbeda dengan trance, karena roh yang hadir dalam trance menempel di ujung lidah. Dalam trance medium yang bersangkutan tidak sadar sehingga tidak bisa berdialog. Ucapan yang keluar dari mulutnya hanya disampaikan satu arah. Maka dari itu, seseorang yang dapat melakukan njarwa bukan disebut kesurupan, melainkan kalenggahan (dari kata lenggah, duduk).
Soedjono sangat percaya pada dhawuh-dhawuh yang disampaikan Rama Marta, Rama Budi Utomo, Rama Dijat, dan Rama Mesran. Dhawuh-dhawuh tersebut dianggapnya lebih akurat ketimbang prediksi dan analisis para doktor atau pakar mana pun. "Intelektual nggak patut didengar, tidak ada unsur ketuhanannya," begitu Soedjono suatu kali mengatakan kepada Budyapradipta. Soedjono aktif mengundang para pinisepuh di atas untuk melakukan njarwa demi mengetahui situasi politik mutakhir. Informasi dari "dunia atas" itu secara rutin dilaporkan kepada Soeharto..


Selama menjadi sekretaris, Budyapradipta selalu mendampingi dan mencatat dhawuh-dhawuh yang keluar dari para guru di atas.
Para rama itu, menurut dia, memiliki spesialisasi sendiri-sendiri. Rama Dijat diminta untuk menjarwa soal-soal kenegaraan. Romo Marta untuk soal kemasyarakatan dan kerumahtanggaan. Rama Budi untuk hal-hal yang sifatnya pribadi. Bila roh datang, karakter suara yang muncul antara rama satu dan rama lain berbeda intonasinya. Bila Romo Marta kalenggahan, misalnya, didahului ketawa ngakak.


Tapi menurut Budya, secara umum, ada tanda-tanda yang sama. "Waktu roh datang, para guru itu seperti keselek (tersedak)," katanya. "Lalu ada suara masuk yang lebih berat, meninggi, dan berbahasa ngoko, menandakan posisinya lebih tinggi dari orang yang diajak bicara." Menurut Budya, ciri-ciri kalimat leluhur itu rapi. Sebagai ahli bahasa Jawa kuno sendiri, ia takjub mendengar kosakata yang keluar sangat kaya. Menurut dia, banyak ungkapan-ungkapan metafor yang bahkan tidak ada dalam kamus Jawa susunan Zoetmulder maupun Ki Padmo. "Misalnya ada ungkapan lobok ora coplok, sesak ora nggebok…."


Banyak kebijakan politik Soeharto, sebelum dikeluarkan, dikomunikasikan dulu dengan para leluhur. "Menurut Pak Djono, saat GBHN dibuat dan saat Indonesia mau merebut Timor Timur, Soeharto terus-menerus meminta pertimbangan dhawuh ini." Soeharto merasa kebijakannya akan lebih sah, mantap, bila leluhur mendukungnya.


Ada sebuah kejadian menarik. Pada waktu Soeharto hendak melakukan kunjungan ke Filipina dan Australia, Rama Dijat diundang Soedjono ke rumahnya. Roh yang masuk dalam diri Rama Dijat mengatakan bahwa yang harus diawasi benar adalah perjalanan Soeharto ke Australia. "Pesan" itu disampaikan Soedjono kepada Yoga Soegama sebagai pemimpin Bakin saat itu. Tapi Yoga mengatakan bahwa analisis intelijennya menganggap mereka harus waspada dengan keamanan di Filipina lantaran Marcos baru saja digulingkan.


Kenyataannya, saat Presiden Soeharto ke Filipina, kondisi aman saja. Sementara di Australia, Soeharto disambut demonstran dengan lemparan tomat dan telur busuk yang mengenai dahinya. Ketika pulang ke Jakarta, Yoga Soegama langsung didamprat oleh Soedjono. "Yoga, mangkane ojo nyepeleake intel spiritualku (Yoga, maka dari itu jangan menyepelekan intel spiritualku)."


Saat peristiwa Tanjung Priok, Budya juga ingat, pada pukul 11 malam, Soedjono memanggil Rama Mesran ke rumahnya untuk meminta dhawuh leluhur bagaimana cara memadamkan kerusuhan itu. Esoknya, Soedjono menelepon Benny Moerdani. Menurut Budya, "Saya melihat sendiri Benny datang, lalu Pak Djono memberikan tongkat dari pohon bodhi kepada Benny; tongkat itu telah dijopa-japu." Tongkat itu, menurut Soedjono, akan memberikan rasa wibawa pada diri Benny hingga kerusuhan itu bisa diatasi.


Syahdan, pada 1985, terjadi demonstrasi dari Himpunan Mahasiswa Islam. Peristiwa ini membangkitkan kegusaran Soeharto. Soedjono berinisiatif memanggil Romo Mesran. Roh yang masuk ke dalam diri Romo Mesran menyuruh: golek penthil pelem ijo neng Mojokerto (carilah mangga muda di Mojokerto). Sore itu juga, Soedjono mengutus Budyapradipta ke Mojokerto. "Saya naik pesawat Garuda ke Surabaya, terus naik mobil ke Mojokerto," kata Budya.


Begitu mendapat mangga muda—padahal, kala itu sedang tidak musim mangga—Budya langsung terbang lagi ke Jakarta menuju kediaman Soedjono. Menjelang dini hari, Budya lalu mendampingi Soedjono dan Rama Mesran membawa mangga muda itu menuju istana.


Di istana, bak cerita sinetron, Paswalpres mencegat mobil mereka. Begitu Soedjono melongok dari kaca jendela, mobil dibiarkan masuk. "Kami mengendarai VW Combi ke istana," kenang Budya. Romo Mesran kemudian menitahkan agar mangga muda itu dipendam di bawah tiang bendera. "Malam-malam saya menggali tanah istana dan menanam mangga," kata Budya.


Berkat mangga muda itu, menurut Soedjono, esoknya demonstrasi itu mereda.
Kegiatan rutin batiniah untuk Soeharto?
Setiap malam Jumat, Soedjono secara rutin menggelar kegiatan njarwa di rumahnya, Jalan Diponegoro. Mereka yang hadir berjumlah sekitar 40 sampai 100 orang. Budya ingat, bila leluhur "masuk" ke dalam tubuh Romo Misran, kalimat awalnya adalah "Iyo Ngger…(ya Nak)." Langsung semua yang hadir secara koor sembari sungkem mengatakan: "Sugeng rawuh… (selamat datang, Eyang)." Setelah dhawuh itu didengar, biasanya lalu "geng" itu mendiskusikannya dengan situasi politik mutakhir.


Setiap Suro (tahun baru Jawa), menurut Budyapradipta, Soedjono Hoemardhani bersama Romo Dijat juga pergi ke Padepokan Jambe Pitu di Gunung Selok, Cilacap. Ini adalah padepokan yang lokasinya ditemukan Romo Dijat dan kemudian dibangun oleh Soedjono. Antara kawasan Gunung Srandhil dan Gunung Selok di Cilacap memang terkenal banyak bertebaran petilasan.
Soeharto tidak asing dengan petilasan-petilasan di Cilacap. Adi Suwarto, seorang juru kunci di sana, pernah mengantarkan Soeharto berziarah ke petilasan Kiai Semar Bodronoyo atau Kaki Tunggul Sabdodadi Doyo Amongrogo yang letaknya di sisi selatan Bukit Srandil. "Dua hari sebelum kedatangan Pak Harto, lokasi kami kosongkan. Soeharto datang malam hari hanya sekitar dua jam," kata Adi Suwarto.


Menurut Romo Dijat, dibanding petilasan-petilasan lain, letak geografis Jambe memiliki energi paling kuat dan sangat cocok sebagai tempat menerima dhawuh yang berperan besar dalam hidup. Petilasan Jambe Pitu yang letaknya di Desa Karangbenda, Kecamatan Adipala, sekitar 20 kilometer dari pusat kota Cilacap itu tempatnya memang asri.


Tempo menyaksikan bagaimana lokasi petilasan diteduhi pohon-pohon akasia. Puluhan kera masih dapat kita lihat bergelantungan. Debur ombak Pantai Selatan dari bawah kaki bukit terdengar lembut. Dari puncak pebukitan memandang ke bawah dapat terlihat tepi laut. Pintu gerbang petilasan Jambe Pitu dibangun dari batu hitam candi. Untuk mencapai bangunan petilasan, pengunjung harus melewati jalan berlantai batu hitam sepanjang kira-kira 300 meter. Kompleksnya megah, luasnya sekitar 50 x 30 meter. Tembok setinggi dua meter mengeliling kompleks bangunan.


Bangunan utama berupa rumah kecil. Di atas pintu masuk kita bisa melihat foto Raden Panji Soedijat Prawirokoesoema alias Romo Dijat. Di sebelahnya terdapat bangunan seperti balai-balai berlantai keramik putih. Inilah tempat Romo Dijat memberi petuah-petuah bagi para murid. "Setiap Suro, Rama Dijat akan mencandra tahun yang akan datang," kata Toto Raharjo. Ia adalah cucu Mbah Tomo, juru kunci yang meninggal pada 1997.


Bangunan lainnya berbentuk rumah dengan empat kamar besar berlantai keramik warna hijau tua. Ini adalah kamar-kamar bagi Soedjono dan lingkarannya. Dulu, kenang Budya, Soedjono dan teman-temannya sering berdialog dengan dhawuh dan berdiskusi sampai pagi. Semua dhawuh direkam dan dicatat, bahkan diterbitkan sebagai buku kumpulan dhawuh yang diedarkan di kalangan terbatas. Budya masih menyimpannya sampai sekarang.
***
Soedjono Hoemardani meninggal dunia pada 1986. Soeharto menghadiri pemakamannya. "Saya melihat mata Pak Harto mbrebes mili (berkaca-kaca)," kata Budyapradipta. Ia jarang melihat Soeharto menangis di depan umum. Itu tandanya ia sangat kehilangan sahabat seperguruannya itu. Apalagi, sebelumnya para rama, guru-guru utamanya, juga meninggal.


Banyak kalangan dari dunia kebatinan Jawa melihat, setelah kematian Soedjono Hoemardani, Soeharto seperti kehilangan arah. "The Smiling General" itu seperti jalan sendiri tanpa sahabat dekat. Dari kejawen ia lalu tiba-tiba terlihat mendekati Islam. Bagi sebagian orang Jawa, tindakan Soeharto itu seperti keluar dari rel yang telah digariskan.


Budi Kusumo Putro, putra Rama Dijat, berkisah, sebelum Soeharto berniat menjabat presiden untuk periode ketiga, pada 1982, Rama Dijat sudah mengingatkan agar Soeharto mengurungkan ambisinya. Namun, Soeharto ngotot agar diizinkan menjadi presiden dan memohon agar Romo Dijat memintakan "restu" kepada Tuhan Yang Maha Esa.


Atas permintaan tersebut, akhirnya Romo Dijat melakukan laku (tirakat) melakukan perjalanan ke segenap penjuru Nusantara selama kurang lebih satu tahun. Di berbagai tempat ia melakukan meditasi. "Ayah mendapat wisik, Soeharto bisa menjadi presiden, namun hanya untuk satu periode lagi," tuturnya. Hasilnya itu disampaikan kepada Soeharto. Tempat yang dipilih untuk menyatakan persoalan penting itu adalah di rumah ayah Romo Dijat di Dukuh Gopetan, Desa Gemblegan Kalipotes, Klaten. Sebuah pilihan simbolis, karena itulah tempat untuk pertama kali Soeharto bersedia menjadi murid Rama Dijat.


Pada 1984, Romo Dijat meninggal. Toto Iriyanto, putranya yang lain, menceritakan, pada pertengahan 1987 saat proses pemilihan umum berlangsung, saat melaksanakan tahajud, dia merasa mendapat wisik dari almarhum ayahnya. "Tulung kandanono kadangmu Soeharto (tolong kasih tahu saudaramu Soeharto)."


Inti wisik itu memperingatkan agar Soeharto lengser. Toto diperintahkan agar menemui Soeharto dengan membawa jantung pisang raja, jeruk Bali, serta kelapa gading (kelapa kuning). Jantung pisang raja adalah simbol kekuasaan, jeruk bali simbol agar kekuasaan itu dikembalikan, kelapa gading adalah simbol masa keemasan. "Intinya, Soeharto harus menanggalkan kekuasaannya di saat masa keemasannya," tutur Toto.


Toto mulanya ragu menyampaikan pesan itu, namun akhirnya Toto berkeyakinan harus datang ke istana. Selang beberapa hari, berangkatlah Toto menemui Soeharto di istana seorang diri. Toto hampir tak lolos dari pemeriksaan Pasukan Pengaman Presiden. Beruntung saat itu Soeharto sedang keluar dari pintu utama istana hendak masuk ke dalam mobil. Sambil mengisap cerutu, Soeharto langsung melambaikan tangannya kepada Toto. Rupanya Soeharto masih mengenali wajah putra gurunya.
Keduanya terlibat dalam percakapan singkat dalam bahasa Jawa. Toto langsung menceritakan dirinya mendapat wangsit agar menyerahkan tiga simbol tersebut kepada Soeharto. Soeharto pun menerima baki berisi jantung pisang raja, jeruk bali, dan kelapa gading. "Wis tak tampa (saya terima)," kata Soeharto. Toto segera pamit pulang tanpa masuk istana. Soeharto pun bergegas melaju dengan mobil.


Ternyata Soeharto tidak mengindahkan "pesan" tersebut. Ia terus menginginkan tampuk kekuasaan. Kita tidak tahu sejauh mana relevansi kebenaran wisik itu. Tapi tahun-tahun itu sepak terjang bisnis putra-putrinya mendapat sorotan yang kian tajam. Soeharto seperti lupa daratan. Sampai terjadilah krisis moneter dan pada 1998 ia lengser. Tapi itu sudah terlambat. Banyak yang menganggap, apabila ia menaati pesan para gurunya itu, di saat tahun-tahun terakhir hidupnya Soeharto akan lebih selamat.


Sumber: Majalah TEMPO, Edisi 4 - 10 Februari 2008