Selasa, 23 Desember 2008

LEGENDA RATU PANTAI UTARA PEKALONGAN

Dewi Lanjar sampai sekarang masih merupakan legenda yang hidup didalam masyarakat dan masih berpengaruh dalam jiwa masyarakat terutama di Pekalongan.

Dalam segala peristiwa sering kali dihubungkan dengan Dewi Lanjar, apabila ada anak yang sedang bermain-main dipantai hilang tentu mereka berpendapat bahwa si anak itu dibawa Dewi Lanjar. Dan bilamana dapat diketemukan kembali tentulah si anak menyatakan dirinya tersesat disuatu daerah atau suatu kraton yang penghuni-penghuninya juga seperti kita-kita ini.

Mereka mempunyai kegiatan membatik, berdagang, menukang, nelayan dan lain-lain yang tidak ubahnya seperti didalam kota saja. Daerah tersebut dikuasai oleh seorang Putri yang cantik ialah Dewi Lanjar.


Diceritakan pada jaman dahulu di suatu tempat Kota Pekalongan hiduplah seorang putri yang sangat cantik jelita, sampai sekarang masih menjadi pembicaraan penduduk, tempat yang terkenal dengan nama Dewi Rara Kuning. Adapun tempat tinggalnya tiada dapat diketahui secara pasti. Dalam menempuh gelombang hidupnya Dewi Rara Kuning mengalami penderitaan yang sangat berat, sebab dalam usia yang sangat muda ia sudah menjadi janda. Suaminya meninggal dunia setelah beberapa waktu melangsungkan pernikahannya. Maka dari itulah Dewi Rara Kuning kemudian terkenal dengan sebutan Dewi Lanjar. ( Lanjar sebutan bagi seorang perempuan yang bercerai dari suaminya dalam usia yang masih muda dan belum mempunyai anak ).

Sejak ditinggal suaminya itu Dewi Lanjar hidupnya sangat merana dan selalu memikirkan suaminya saja. Hal yang demikian itu berjalan beberapa waktu lamanya, tetapi lama kelamaan Dewi Lanjar sempat berpikir kembali bahwa kalau dibiarkan demikian terus akan tidak baik akibatnya. Maka dari itulah ia kemudian memutuskan untuk pergi meninggalkan kampung halamannya, merantau sambil menangis hatinya yang sedang dirundung malang.
Tersebutlah, perjalanan Dewi Lanjar sampai disebuah sungai yaitu sungai Opak.

Ditempat ini kemudian bertemu dengan Raja Mataram bersama Mahapatih Singaranu yang sedang bertapa ngapung diatas air di sungai itu. Dalam pertemuan itu Dewi Lanjar mengutarakan isi hatinya serta pula mengatakan tidak bersedia untuk menikah lagi. Panembahan Senopati dan Mahapatih Singoranu demi mendengar tuturnya terharu dan merasa kasihan. Oleh karena itu dinasehatinya agar bertapa di Pantai Selatan serta pula menghadap kepada Ratu Kidul.

Setelah beberapa saat lamanya, mereka berpisahan serta melanjutkan perjalanan masing-masing, Panembahan dan Senopati beserta patihnya melanjutkan bertapa menyusuri sungai Opak sedangkan Dewi Lanjar pergi kearah Pantai Selatan untuk menghadap Ratu Kidul.


Dikisahkan bahwa Dewi Lanjar sesampainya di Pantai Selatan mencari tempat yang baik untuk bertapa. Karena ketekunan dan keyakinan akan nasehat dari Raja Mataram itu akhirnya Dewi Lanjar dapat moksa ( hilang ) dan dapat bertemu dengan Ratu Kidul.
Dalam pertemuan itu Dewi Lanjar memohon untuk dapat menjadi anak buahnya, dan Ratu Kidul tiada keberatan.

Pada suatu hari Dewi Lanjar bersama jin - jin diperintahkan untuk mengganggu dan mencegah Raden Bahu yang sedang membuka hutan Gambiren ( kini letaknya disekitar jembatan anim Pekalongan dan desa Sorogenen tempat Raden Bahu membuat api ) tetapi karena kesaktian Raden Bahu, yang diperoleh dari bertapa Ngalong ( seperti Kalong / Kelelawar ), semua godaan Dewi Lanjar dan jin - jin dapat dikalahkan bahkan tunduk kepada Raden Bahu.

Karena Dewi Lanjar tiada berhasil menunaikan tugas maka ia memutuskan tidak kembali ke Pantai Selatan, akan tetapi kemudian memohon ijin kepada Raden Bahu untuk dapat bertempat tinggal di Pekalongan. Oleh Raden Bahu disetujui bahkan pula oleh Ratu Kidul. Dewi Lanjar diperkenankan tinggal dipantai utara Jawa Tengah terutama di Pekalongan. Konon letak keraton Dewi Lanjar terletak dipantai Pekalongan disebelah sungai Slamaran.

( Sumber Kantor Pariwisata & Kebudayaan )

Minggu, 14 Desember 2008

Jejak Jejak Spiritual

Parangkusuma Pantai Parangkusuma merupakan kawasan sakral kerajaan Mataram, di sana terdapat batu yang konon merupakan tempat pertemuan antara Kanjeng Ratu Kidul dan Panembahan Senapati berikut raja-raja Mataram penerusnya. Di tempat inilah Senapati pernah bertapa untuk meminta bantuan Ratu Kidul dalam memperbesar kerajaannya.

Parangkusuma pada saat ini masih sering dipergunakan sebagai tempat untuk meditasi atau nenepi oleh masyarakat yang ingin memanjatkan doa/permintaan, khususnya setiap malam Selasa Kliwon dan Jumat Kliwon. Pada malam 1 Sura tempat ini penuh sesak didatangi para peziarah dari berbagai kota untuk melakukan sesaji dan ziarah terhadap Ratu Kidul.

CEPURI PARANGKUSUMA: Cepuri ini di dalamnya terdapat 2 buah batu tempat pertemuan antara Panembahan Senapati dengan Kanjeng Ratu Kidul. Untuk masuk ke cepuri, peziarah harus meminta izin terlebih dahulu kepada juru kunci. Apabila juru kunci tidak ada di tempat peziarah cukup menabuh kentongan yang ada di pintu masuk cepuri sebagai isyarat memanggil kedatangan juru kunci.

SELA GILANG: Inilah 2 buah batu tempat pertemuan antara Senapati dan Ratu Kidul, tempat ini sangat disakralkan.


KOMPLEKS CEPURI: Di sekitar cepuri terdapat gugusan batu karang yang hampir menjadi fosil, batu tersebut termasuk tempat yang disakralkan.

MISTERI DI BALIK SEJARAH TAHUN JAWA

Menurut Babad Jawa, sejak masa purbakala masyarakat di pulau Jawa sudah memiliki kebudayaan asli yang memperhitungkan ilmu perbintangan. Ilmu pengetahuan ini digunakan masyarakat pada jaman tersebut misalnya untuk bertani dan bercocok tanam serta untuk keperluan pelayaran. Ilmu ini dituangkan dalam Primbon Jawa yang termasuk di dalamnya yaitu Pawukon, Pranatamangsa, dan sebagainya.
Sekitar abad pertama masehi, masyarakat Jawa kedatangan pengaruh bangsa Hindu (India). Bersama dengan kebudayaan asli yang sudah ada, pengaruh kebudayaan Hindu ini menelurkan kebudayaan-kebudayaan baru.

Tahun Saka


Sejak abad ke-8 masehi, di Jawa sudah ada Kerajaan Hindu-Jawa yang menggunakan perhitungan waktu berdasarkan sistem kebudayaan asli, kebudayaan Hindu, dan kebudayaan baru. Perhitungan waktu pada masa itu telah menggunakan sistem angka tahun menurut Saka, terpengaruh kebudayaan Hindu. Tahun Saka dihitung menurut perputaran matahari. Jumlah hari dalam sebulan pada tahun Saka berjumlah 30, 31, dan 32 atau 33 hari pada bulan terakhir, yaitu bulan Saddha. Sehingga setahun berjumlah 365 dan 366 hari, terbagi dalam 12 bulan.

Tahun Hijriah

Pengaruh kebudayaan Hindu yang sangat kuat di tanah Jawa akhirnya mendapat saingan dengan datangnya kebudayaan Islam. Pengaruh Islam semakin kuat sampai akhirnya pada abad ke-16 masehi Kerajaan Jawa mulai menggunakan sistem penanggalan Arab yang disebut Tahun Hijriah. Sistem penanggalan ini secara resmi digunakan oleh kerajaan Jawa Islam, tetapi sebagian masyarakat masih tetap menggunakan perhitungan Saka.


Tahun Hijriah adalah termasuk tahun Komariah, yaitu mengikuti perputaran bulan. Dalam satu tahun Hijriah berarti bulan mengitari bumi sebanyak 12 kali. Jumlah hari dalam sebulan pada tahun Hijriah berjumlah 29 dan 30 hari. Sehingga satu tahun Hijriah berjumlah 354 atau 355 hari (bulan Zulhijjah berumur 29 atau 30 hari).


Tahun Hijriah perlu diberlakukan di Jawa pada masa itu karena kerajaan-kerajaan Islam harus menyamakan kalender kerajaan dengan peringatan-peringatan penting dalam agama Islam. Pada masa itu, hari-hari besar Islam diperingati sebagai acara resmi kerajaan, misalnya Idul Fitri setiap tanggal 1 Syawal, Idul Adha setiap tanggal 10 Zulhijjah, dan Mauludan setiap 12 Rabi'ul Awal yang sampai saat ini selalu diperingati secara besar-besaran dalam acara Sekaten.

Tahun Jawa

Berdirinya kerajaan Mataram Islam memberi warna baru dalam sejarah penanggalan di Jawa. Tepatnya ketika pemerintahan Sri Sultan Agung Prabu Anyakrakusuma, ditetapkanlah pemberlakuan Tahun Jawa.

Adapun sistem penanggalan Tahun Jawa adalah mengikuti penanggalan Hijriah, yaitu berdasarkan perputaran bulan, atau disebut Komariah. Sistem penanggalan ini disepakati berlaku di seluruh wilayah Mataram, yaitu pulau Madura dan seluruh Jawa (kecuali Banten yang bukan kekuasaan Mataram).

Hari itu Jum'at Legi tanggal 1 Muharram 1043 Hijriah bertepatan dengan tahun Saka 1555, dan tahun 1633 Masehi, ditetapkan sebagai awal Tahun Jawa 1555 (melestarikan peninggalan penanggalan Saka).
Ada tiga hal penting dalam pemberlakuan Tahun Jawa : 1)

Mempertahankan kebudayaan asli Jawa dengan mewadahi Pawukon dan sebangsanya yang diperlukan dalam memperingati hari kelahiran orang Jawa, mengerti watak dasar manusia dan prediksi peruntungan menurut Primbon Jawa.
2) Melestarikan kebudayaan Hindu yang kaya akan kesusasteraan, kesenian, arsitektur candi dan agama. Hal ini sangat penting karena kebudayaan Hindu telah berhasil menghiasi dan memperindah budaya Jawa selama berabad-abad sebelumnya. 3) Menyelaraskan kebudayaan Jawa dengan kebudayaan Arab. Sistem penanggalan Tahun Jawa yang serupa dengan penanggalan Hijriah yaitu Komariah, akan memudahkan masyarakat Islam di Jawa untuk menjalankan ibadahnya berkaitan dengan hari-hari suci/besar Islam. Dengan begitu, penanggalan Tahun Jawa mampu mengakomodasi tiga golongan utama masyarakat Jawa ketika itu, yaitu golongan orang Jawa kuno (asli), golongan masyarakat Hindu, dan golongan umat Islam.

SINGGASANA SULTAN AGUNG MENGHILANG


Ini adalah kisah Sultan Agung dengan Ki Juru Taman, abdinya yang berwujud raksasa siluman. Karena kesaktiannya, Juru Taman selalu mendapat kepercayaan dari Sultan Agung untuk melaksanakan tugas-tugas yang penting dan berat.

Tugas-tugas ini kerap adalah tugas negara yang rahasia. Lebih lengkap mengenai Juru Taman baca Lungsung Jagat dan Jayekatong : Bukti Cinta Ratu Kidul ke Sang Senapati?
Juru Taman itu dulunya abdi Kanjeng Panembahan Senapati, kakek Sultan Agung.

Ketika terjadi peperangan di Pajang, Juru Taman berhasil membunuh sultan Pajang. Itulah sebabnya Panembahan Senapati sangat senang kepadanya. Sultan Agung menerima Juru Taman sebagai suatu wasiat yang diwariskan kakeknya almarhum.
Suatu ketika Sultan Agung bermaksud akan pergi ke Banten, jajahannya yang belum takluk. Ia ingin melihat dari dekat wilayah bakal medan perangnya ini. Karena itu, kepergiannya haruslah diam-diam, tidak diketahui orang. Sultan Agung memanggil Juru Taman dan bermaksud menggunakan kesaktian abdi setianya ini untuk tugas rahasia ini.

Setelah sembah hormat, dengan cekatan Juru Taman mengangkat singgasana lalu membumbungkannya ke angkasa sementara Sultan Agung yang masih duduk di atasnya. Dengan masih bersinggasana ini, Sultan Agung melesat ke angkasa secepat kilat menuju kerajaan Banten.


Sungguh takjub Sultan Agung dengan kesaktian abdi gaibnya ini karena dalam waktu sekejap saja telah sampai ia di angkasa kerajaan Banten. Dari atas Sultan Agung dapat dengan jelas melihat keadaan kerajaan di jauh sebelah barat Mataram ini, dengan tanpa diketahui oleh siapapun. Ketika itu di istana Banten sedang berlangsung pertunjukan wayang kulit dengan meriahnya.


"Turunkan aku ke bawah, Ki Juru Taman," perintah Sultan Agung tiba-tiba. "Aku ingin melihat wayang Banten apakah sama dengan wayang Mataram," begitu titah raja yang agung ini.
Kemudian Sultan Agung diturunkan oleh Ki Juru Taman di pendapa istana itu. Sultan Agung masih tetap duduk di singgasananya. Sementara Juru Taman dengan wujud gaibnya berjaga demi keselamatan sang raja junjungannya.

Mendapati seorang priyayi yang hadir tiba-tiba di tengah pertunjukan wayang, orang-orang yang ada di pendapa itu terkejut dibuatnya. Mereka heran bagaimana cara datangnya priyayi ini. Apalagi kedatangannya disertai bau harum bagai wangi gunung bunga. Dan yang lebih mengherankan lagi, priyayi ini masih duduk di singgasananya dengan segala kebesaran seorang raja. Serta merta yang hadir menundukkan muka kena pengaruh wibawa dari wajah Sultan Agung yang bersinar bak rembulan. Raja Banten pun datang dengan sikap sangat hormat dan serta merta menyatakan baktinya.

Sultan Agung menaklukan kerajaan Banten tanpa peperangan.
Karena merasa rajanya akan aman di tempat itu, Juru Taman pergi menemui teman-temannya, bangsa siluman di negeri Banten. Sepeninggal Juru Taman, Sultan Agung berpamitan kepada raja Banten. Segera Sultan Agung turun dari singgasananya dan memangil Juru Taman. Yang dipanggil tentu saja tidak datang karena memang sudah tidak ada di tempat itu. Sultan Agung merasa khawatir, sudah ia putari pendapa itu tapi tetap tidak dapat ia temukan abdinya. Sesudah menemui teman-temannya, Juru Taman segera kembali ke pendapa. Juru Taman terkejut melihat junjungannya tidak berada di tempatnya lagi, kecuali tinggal singgasananya saja. Ia mengira Sultan Agung telah kembali ke Mataram seorang diri dengan cepat. Segera saja Juru Taman menyusul rajanya ke Mataram dengan menjunjung singgasana itu. Melihat singgasana Sultan Agung yang tiba-tiba hilang lenyap dalam tempo sekejap mata, sultan Banten beserta rakyatnya melongo. Tidak habis rasa heran mereka bagaimana seorang raja yang mampu datang secara tiba-tiba, masih dengan singgasananya pula, dan ketika pulang singgasannya bisa hilang pula dalam sekejap.

(mas gagah/diadaptasi dari babad sultan agung & babad demak)


Kanjeng Ratu Kidul

Di dalam karaton banyak ditemukan berbagai macam lambang dalam segi kehidupan, dimulai dari bentuk dan cara mengatur bangunan, mengatur penanaman pohon yang dianggap keramat, mengatur tempat duduk, menyimpan dan memelihara pusaka, macam pakaian yang dikenakan dan cara mengenakannya, bahasa yang harus dipakai, tingkah laku, pemilihan warna dan seterusnya.

Karaton juga menyimpan dan melestarikan nilai-nilai lama, Mitos yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat dan komunitas karaton adalah mitos Kangjeng Ratu Kidul. Kedudukan mitos itu sangat menonjol, karena tanpa mengenal mitos Kangjeng Ratu Kidul, orang tidak akan dapat mengerti makna dari tarian sakral Bedhaya Ketawang, yang sejak Paku Buwana X naik tahta, setiap setahun sekali tarian itu dipergelarkan pada acara ulang tahun penobatan Raja.

Tanpa mengenal mitos itu makna Panggung Sangga Buwana akan sulit dipahami, demikian pula mengenai mitos yang dulu dikenal rakyat sebagai lampor. 'Gung pra peri perayangan ejim sumiwi Sang Sinom Prabu Rara yekti gedhe dhewe. (kutipan dari "Babad Nitik") terjemahkan: segenap makhluk halus jin bersembah pada Sang Ratu yang besar tak bertara Terdapat berbagai macam versi mitos Kangjeng Ratu Kidul antara lain berdasarkan cerita pujangga Yosodipuro.
Di kerajaan Kediri, terdapat seorang putra raja Jenggala yang bernama Raden Panji Sekar Taji yang pergi meninggalkan kerajaannya untuk mencari daerah kekuasaan baru. Pada masa pencariannya sampailah ia di hutan Sigaluh yang didalamnya terdapat pohon beringin berdaun putih dan bersulur panjang yang bernama waringin putih. Pohon itu ternyata merupakan pusat kerajaan para lelembut (mahluk halus) dengan Sang Prabu Banjaran Seta sebagai rajanya.

Berdasarkan keyakinannya akan daerah itu, Raden Panji Sekar Taji melakukan pembabatan hutan sehingga pohon waringin putih tersebut ikut terbabat. Dengan terbabatnya pohon itu si Raja lelembut yaitu Prabu Banjaran Seta merasa senang dan dapat menyempurnakan hidupnya dengan langsung musnah ke alam sebenarnya. Kemusnahannya berwujud suatu cahaya yang kemudian langsung masuk ke tubuh Raden Panji Sekar Taji sehingga menjadikan dirinya bertambah sakti.

Alkisah, Retnaning Dyah Angin-Angin adalah saudara perempuan Prabu Banjaran Seta yang kemudian menikah dengan Raden Panji Sekar Taji yang selanjutnya dinobatkan sebagai Raja. Dari hasil perkawinannya, pada hari Selasa Kliwon lahirlah putri yang bernama Ratu Hayu. Pada saat kelahirannya putri ini menurut cerita, dihadiri oleh para bidadari dan semua mahluk halus. Putri tersebut diberi nama oleh eyangnya (Eyang Sindhula), Ratu Pegedong dengan harapan nantinya akan menjadi wanita tercantik dijagat raya. Setelah dewasa ia benar-benar menjadi wanita yang cantik tanpa cacat atau sempurna dan wajahnya mirip dengan wajah ibunya bagaikan pinang dibelah dua.

Pada suatu hari Ratu Hayu atau Ratu Pagedongan dengan menangis memohon kepada eyangnya agar kecantikan yang dimilikinya tetap abadi. Dengan kesaktian eyang Sindhula, akhirnya permohonan Ratu Pagedongan wanita yang cantik, tidak pernah tua atau keriput dan tidak pernah mati sampai hari kiamat dikabulkan, dengan syarat ia akan berubah sifatnya menjadi mahluk halus yang sakti mandra guna (tidak ada yang dapat mengalahkannya).
Setelah berubah wujudnya menjadi mahluk halus, oleh sang ayah Putri Pagedongan diberi kekuasaan dan tanggung jawab untuk memerintah seluruh wilayah Laut Selatan serta menguasai seluruh mahluk halus di seluruh pulau Jawa. Selama hidupnya Ratu Pagedongan tidak mempunyai pedamping tetapi ia diramalkan bahwa suatu saat ia akan bertemu dengan raja agung (hebat) yang memerintah di tanah Jawa.

Sejak saat itu ia menjadi Ratu dari rakyat yang mahluk halus dan mempunyai berkuasa penuh di Laut Selatan. Kekuasaan Ratu Kidul di Laut Selatan juga tertulis dalam serat Wedatama yang berbunyi: Wikan wengkoning samodra, Kederan wus den ideri, Kinemat kamot hing driya, Rinegan segegem dadi, Dumadya angratoni, Nenggih Kangjeng Ratu Kidul, Ndedel nggayuh nggegana, Umara marak maripih, Sor prabawa lan wong agung Ngeksiganda. terjemahkan: Tahu akan batas samudra Semua telah dijelajahi Dipesona nya masuk hati Digenggam satu menjadi Jadilah ia merajai Syahdan Sang Ratu Kidul Terbang tinggi mengangkasa Lalu datang bersembah Kalah perbawa terhadap Junjungan Mataram [setubuh alamai-senyawa Illahi] Yang artinya : Mengetahui/mengerti betapa kekuasaan samodra, seluruhnya sudah dilalui/dihayati, dirasakan dan meresap dalam sanubari, ibarat digenggam menjadi satu genggaman, sehingga terkuasai.

Tersebutlah Kangjeng Ratu Kidul, naik ke angkasa, datang menghadap dengan hormat, kalah wibawa dengan raja Mataram. Ada versi lain dari masyarakat Sunda (Jawa Barat) yang menceritakan bahwa pada jaman kerajaan Pajajaran, terdapat seorang putri raja yang buruk rupa dan mengidap penyakit kulit bersisik sehingga bentuk dan seluruh tubuhnya jelak tidak terawat.Oleh karena itu, Ia diusir dari kerajaan oleh saudara-saudaranya karena merasa malu mempunyai saudara yang berpenyakitan seperti dia. Dengan perasaan sedih dan kecewa, sang putri kemudian bunuh diri dengan mencebur ke laut selatan. Pada suatu hari rombongan kerajaan Pajajaran mengadakan slametan di Pelabuhan Ratu.

Pada saat mereka tengah kusuk berdoa muncullah si putri yang cantik dan mereka tidak mengerti mengapa ia berada disitu, kemudian si putri menjelaskan bahwa ia adalah putri kerajaan Pajajaran yang diusir oleh kerajaan dan bunuh diri di laut selatan, tetapi sekarang telah menjadi Ratu mahluk halus dan menguasai seluruh Laut Selatan. Selanjutnya oleh masyarakat, ia dikenal sebagai Ratu Kidul. Dari cerita-cerita mitos tentang Kangjeng Ratu Kidul, jelaslah bahwa Kangjeng Ratu Kidul adalh penguasa lautan yang bertahta di Laut Selatan dengan kerajaan yang bernama Karaton Bale Sokodhomas.

Mitos Pertemuan Kangjeng Ratu Kidul Dengan Penembahan Senopati Sebelum Panambahan Senopati dinobatkan menjadi raja, beliau melakukan tapabrata di Dlepih dan tapa ngeli. Dalam laku tapabratanya, beliau selalu memohon kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar dapat membimbing dan mengayomi rakyatnya sehingga terwujud masyarakat yang adil dan makmur. Dalam cerita, pada waktu Panembahan Senopati melakukan tapa ngeli, sampai di tempuran atau tempat bertemunya aliran sungai Opak dan sungai Gajah Wong di dekat desa Plered dan sudah dekat dengan Parang Kusumo, Laut Selatan tiba-tiba terjadilah badai dilaut yang dasyat sehingga pohon-pohon dipesisir pantai tercabut beserta akarnya, ikan-ikan terlempar di darat dan menjadikan air laut menjadi panas seolah-olah mendidih. Bencana alam ini menarik perhatian Kangjeng Ratu Kidul yang kemudian muncul dipermukaan laut mencari penyebab terjadinya bencana alam tersebut.

Dalam pencariannya, Kangjeng Ratu Kidul menemukan seorang satria sedang bertapa di tempuran sungai Opak dan sungai Gajah Wong, yang tidak lain adalah Sang Panembahan Senopati. Pada waktu Kangjeng Ratu Kidul melihat ketampanan Senopati, kemudian jatuh cinta. Selanjutnya Kangjeng Ratu Kidul menanyakan apa yang menjadi keinginan Panembahan Senopati sehingga melakukan tapabrata yang sangat berat dan menimbulkan bencana alam di laut selatan, kemudian Panembahan menjelaskan keinginannya Kangjeng Ratu Kidul memperkenalkan diri sebagai raja di Laut Selatan dengan segala kekuasaan dan kesaktiannya. Kangjeng Ratu Kidul menyanggupi untuk membantu Panembahan Senopati mencapai cita-cita yang diinginkan dengan syarat, bila terkabul keinginannya maka Panembahan Senopati beserta raja-raja keturunannya bersedia menjadi suami Kangjeng Ratu Kidul. Panembahan Senopati menyanggupi persyaratan Kangjeng Ratu Kidul namun dengan ketentuan bahwa perkawinan antara Panembahan Senopati dan keturunannya tidak menghasilkan anak.

Setelah terjadi kesepakatan itu maka alam kembali tenang dan ikan-ikan yang setengah mati hidup kembali. Adanya perkawinan itu konon mengandung makna simbolis bersatunya air (laut) dengan bumi (daratan/tanah). Ratu Kidul dilambangkan dengan air sedangkan raja Mataram dilambangkan dengan bumi. Makna simbolisnya adalah dengan bersatunya air dan bumi maka akan membawa kesuburan bagi kehidupan kerajaan Mataram yang akan datang. Menurut sejarah bahwa Panembahan Senopati sebagai raja Mataram yang beristrikan Kangjeng Ratu Kidul tersebut merupakan cikal bakal atau leluhur para raja Mataram ,termasuk Karaton Surakarta Hadiningrat. Oleh karena itu maka raja-raja karaton Surakarta sesuai dengan janji Panembahan Senopati yaitu menjadi suami dari Kangjeng Ratu Kidul. Dalam perkembangannya, raja Paku Buwana III selaku suami Kangjeng Ratu Kidul telah mendirikan Panggung Sangga Buawana sebagai tempat pertemuannya. Selanjutnya tradisi raja-raja Surakarta sebagai suami Kangjeng Ratu Kidul berlangsung terus sampai dengan raja Paku Buwana X. Alkisah Paku Buwana X yang merupakan suami Ratu Kidul sedang bermain asmara di Panggung Sangga Buwana. Pada saat mereka berdua menuruni tangga Panggung yang curam tiba-tiba Paku Buwana X terpeleset dan hampir jatuh dari tangga tetapi berhasil diselamatkan oleh Kangjeng Ratu Kidul. Dalam kekagetannya itu Ratu Kidul berseru : “Anakku ngGer…………..” (Oh……….Anakku). Apa yang diucapkan oleh Kangjeng Ratu Kidul itu sebagai Sabda Pandito Ratu artinya sabda Raja harus ditaati.

Sejak saat itu hubungan kedudukan mereka berdua berubah bukanlah lagi sebagai suami istri , tetapi hubungannya sebagai ibu dan anak, begitu pula terhadap raja-raja keturunan Paku Buwana X selanjutnya. PANGGUNG SANGGA BUWANA DAN MITOSNYA Secara mistik kejawen, Panggung Sangga Buwana dipercaya sebagai tempat pertemuan raja-raja Surakarta dengan Kangjeng Ratu Kidul, oleh karena itu letak Panggugu Sangga Buwana tersebut persis segaris lurus dengan jalan keluar kota Solo yang menuju ke Wonogiri. Konon, menurut kepercayaan, hal itu memang disengaja sebab datangnya Ratu Kidul dari arah Selatan.

Pada puncak bangunan Panggung Sangga Buwana yang berbentuk seperti topi bulat terdapat sebuah hiasan seekor naga yang dikendarai oleh manusia sambil memanah. Menurut Babad Surakarta, hal itu bukan sekedar hiasan semata tetapi juga dimaksudkan sebagai sengkalan milir. Bila diterjemahkan dalam kata-kata sengkalan milir itu berbunyi Naga Muluk Tinitihan Janma, yang berarti tahun 1708 Jawa atau 1782 Masehi yang merupakan tahun berdirinya Panggung Sangga Buwana (Naga=8, Muluk=0, Tinitihan=7, dan Janma=1) Arti lain dari sengkalan milir tersebut adalah: 8 diartikan dengan bentuknya yang segi delapan, 0 yang diartikan dengan tutup bagian atas bangunan yangberbentuk seperti topi, 7 adalah manusia yang mengendarai naga sambil memanah dan 1 diartikan sebagai tiang atau bentuk bangunannya yang seperti tiang. Namun demikian, sebenarnya nama Panggung Sangga Buwana itu sendiri juga merupakan sebuah sengkalan milir yang merupakan kependekan dari kata Panggung Luhur Sinangga Buwana.

Dari nama tersebut lahir dua sengkalan sekaligus yang bila diterjemahkan akan didapati dua jenis tahun yaitu tahun Jawa dan tahun Hijryah. Untuk sengkalan tahun Hijryah, Panggung berarti gabungan dua kata, PA dan AGUNG. Pa adalah huruf Jawa dan Agung adalah besar berarti huruf Jawa Pa besar yaitu angka delapan. Sedangkan Sangga adalah gabungan kata SANG da GA yang merupakan singkatan dari Sang atau sembilan dan Ga adalah huruf Jawa atau angka Jawa yang nilainya satu. Serta kata Buwana yang artinya dunia, yang bermakna angka satu pula. Dengan demikian menunjukkan angka tahun 1198 Hijryah. Kemudian untuk sengkalan tahun Jawa kata Panggung Luhur Sinangga Buwana. Panggung juga tediri dari PA dan AGUNG yang berarti huruf Jawa Pa besar sama dengan 8. Luhur mempunyai makna tanpa batas yang berarti angka 0.

Sinangga bermakna angka 7 dan Buwana bermakna angka 1. Shingga bila digabungkan mempunyai arti yang sama yaitu tahun 1708 Jawa. Kedua tahun tersebut, baik tahun Jawa dan Hijryah bila dimaksukkan atau dikonversikan ke tahun Masehi sama-sama menunjukkan angka 1782, saat pembangunan panggung tersebut. Pada Panggung Sangga Buwana masih didapati sebuah sengkalan milir yang pada jaman penjajahan Belanda dirahasiakan adanya. Sebab diketahui sengkalan terakhir ini berupa sebuah ramalan tentang tahun kemerdekaan Indonesia, sehingga jelas akan menimbulkan bahaya apabila diketahui oleh Belanda. Selain itu yang namanya ramalan memang tidak boleh secara gegabah diumumkan, mengingat ketakaburan manusia yang dapat ditaksirkan akan mendahului takdir Tuhan.

Sengkalan rahasia yang dimaksud adalah terletak pada puncak atas panggung yang telah disinggung yaitu Naga Muluk Tinitihan Janma. Bentuk dari hiasan tersebut adalah manusia yang naik ular naga tengah beraksi hendak melepaskan anak panah dari busurnya, sedangkan naganya sendiri digambarkan memakai mahkota. Hal ini merupakan Sabda terselubung dari Sunan PB III yang kemudian ketika disuruh mengartikan kepada seorang punjangga karaton Surakarta yang bernama Kyai Yosodipuro, juga cocok yaitu ramalan tahun kemerdekaan bangsa Indonesia adalah tahun 1945. Naga atau ular diartikan melambangkan rakyat jelata dan mahkotanya berarti kekuasaan. Dengan demikian keseluruhan sosok naga tersebut menggambarkan adanya kekuasaan ditangan rakyat jelata. Dan gambarkan manusia yang mengendarainya dengan siap melepaskan anak panah diartikan sebagai sasaran, kapan tepatnya kekuasaan berada ditangan rakyat. Sebenarnya sosok manusia mengendarai naga tersebut dipasang juga untuk mengetahui arah mata angin dan tiang yang berada dipuncaknya dan digunakan untuk penangkal petir. Hal tersebut oleh Kyai Yosodipuro dibaca sebagai sengkalan juga yaitu keblat Rinaras Tri Buwana. Keblat = 4, Rinaras = 6, Tri = 3 dan Buwana = 1 atau tahun 1364 Hijryah, bila dimasukan atau dikonversikan ke tahun Masehi akan menjadi 1945 yang merupakan tahun kemerdekaan bangsa Indonesia. Sayangnya bangunan Sangga Buwana beserta hiasan asli dipuncaknya itu pernah terbakar dilalap api tahun 1954, tetapi hingga sekarang kepercayaan masyarakat dan legenda akan bangunan tersebut tidak pernah punah sehingga mereka tetap menghormati dan menghargainya dengan cara selalu melakukan upacara sesaji atau yang lazim disebut caos dahar pada setiap hari Selasa Kliwon atau Anggoro Kasih, setiap malam Jumat dan saat menjelang upacara-upacara kebesaran karaton. Bangunan Panggung Sangga Buwana apabila dilihat sebagai sumbu dari bangunan karaton secara keseluruhan yang menghadap ke arah utara, maka semua Bangunan yang berada di sebelah kiri Panggung Sangga Buwana mempunyai hubungan vertikal dan yang sebelah kanan mempunyai hubungan horisontal. Hubungan vertikal tersebut yaitu hubungan kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagai kegiatan spiritual misalnya : bangunan Jonggring Selaka, Sanggar Palanggatan, Sanggar Segan, Mesjid Bandengan, Mesjid Pudyasana, Mesjid Suranatan, Mesjid Agung, Gereja Protestan Gladag dan Gereja Katolik Purbayan. Sedangkan hubungan horizontal yaitu kegiatan duniawi manusia misalnya Pasar Gading, Pasar Kliwon, Pasar Gedhe, dan sebelah timur lagi terdapat sarana transportasi Begawan Solo. Panggung Sangga Buwana juga mempunyai arti sebagai penyangga bumi memiliki ketinggian kira-kira 30 meter sampai puncak teratas. Didalam lingkungan masyarakat Solo terdapat sebuah kepercayaan bahwa bangunan-bangunan yang berdiri di kota Solo tidak boleh melebihi dari Panggung Sangga Buwana karena mereka sangat menghormati rajanya dan mempercayai akan kegiatan yang terjadi di puncak bangunan tersebut sehingga apabila ada bangunan yang melanggarnya maka akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.

BENTUK PANGGUNG SANGGA BUWANA Bentuk fisik dari Panggung Sangga Buwana adalah segi delapan atau hasta walu dalam istilah Jawa. Bentuk yang segi delapan itu diartikan sebagai hasta brata yang menurut filosifi orang Jawa adalah sifat kepepimpinan, jadi diharapkan setiap pemimpin mempunyai sifat yang demikian. Filsafat Jawa selalu berorientasi pada alam karana dengan alam mereka dapat menikmati hidup dan merasakan komunikasi batin manusia dengan Sang Pencipta. Orang Jawa juga mempercayai bahwa apabila bangunan yang tidak menghiraukan alam lingkungan maka bangunan tersebut akan jauh dari situasi manusiawi. Ajaran hasta brata atau delapan laku yang merupakan ajaran kepemimpinan bagi setiap manusia. Dari ajaran tersebut diharapkan setiap pemimpin mempunyai sifat-sifat seperti watak kedelapan unsur alam yaitu: 1. Matahari yang diartikan sebagai seorang pemimpin harus dapat menjadi sumber hidup orang lain. 2. Bulan mengartikan penerangan dalam kegelapan. 3. Bintang sebagai petunjuk arah bagi yang tersesat 4. Bumi yang maksudnya seorang pemimpin yang baik harus kuat menerima beban hidup yang diterimanya. 5. Mendhung diharapkan sebagai pemimpin tidak mempunyai sifat yang tidak pilih kasih. 6. Api yang berarti mematangkan yang mentah 7. Samodra/Air dimaksudkan bahwa pemimpin harus dapat memahami segala kebaikan dan keburukan 8. Angin yang apabila berada dimanapun juga harus dapat membawa kesejukkan.

Seorang pemimpin yang dihormati oleh rakyatnya karena rakyat mengharapkan dengan hadirnya pemimpin yang mempunyai sifat demikian maka mereka pasti akan hidup rukun, tentram dan damai sejahtera. Dari bentuk fisik bangunan Panggung Sangga Buwana juga melambangkan sebagai simbol lingga yang yang berdampingan dengan yoni yaitu Kori Srimanganti. Dalam kepercayaan agama hindu, lingga dan yoni melambangkan Dewa Shiwa atau Dewa Kesuburan. Simbol lingga dan yoni juga terukir atau terekam dalam bentuk ornamen di Kori Srimanganti yang berarti bahwa sebagai perantara kelahiran manusia yang juga mengingatkan hidup dalam alam paberayan senantiasa bersikap keatas dan kebawah serta ke kanan dan ke kiri. Hal ini semua mengandung arti bahwa manusia harus selalu ingat adanya Yang Menitahkan dan sekaligus mengakui bahwa manusia hanya sebagai yang dititahkan. Sedangkan ke kanan dan ke kiri dapat diartikan manusia selalu hidup bermasyarakat.

Panggung Sangga Buwana yang melambangkan lingga diartikan juga sebagai suatu kekuatan yang dominan disamping menimbulkan lingga-yoni yang juga merupakan lapisan inti atau utama dari urut-urutan bangunan Gapura Gladag di Utara hingga Gapura Gading di Selatan. Lingga dan yoni merupakan kesucian terakhir dalam hidup manusia, hal ini kemudian menimbulkan sangkang paraning dumadi yaitu dengan lingga dan yoni terjadilah manusia. Jadi dengan kata lain kesucian dalam hubungannya dengan filsafat bentuk secara simbolik dapat melambangkan hidup. Panggung yang dilambangkan sebagai lingga dan Srimanganti sebagai yoni, juga merupakan suatu pasemon atau kiasan goda yang terbesar. Maksudnya, lingga adalah penggoda yoni, dan sebaliknya yoni merupakan penggoda lingga.

Seterusnya, panggung dan kori itu juga merupakan lambang yang bisa diartikan demikian: seorang lelaki dalam menghadapi sakaratul maut, yaitu ketika ia hampir berangkat menuju ke hadirat Tuhan, ia akan sangat tergoda oleh wanita atau sebaliknya. Begitu pula sebaliknya wanita, ketika dipanggil Tuhan Yang Maha Kuasa ia pun sangat tergoda atau sangat teringat akan pria atau kekasihnya. Begitulah makna yang terkandung atau perlambang yang terkandung di dalam Panggug Sangga Buwana bersama Kori Srimanganti yang selalu berdekatan. FUNGSI PANGGUNG SANGGA BUWANA Versi lain mengatakan bahwa Panggung Sangga Buwana ditilik dari segi historisnya, pendirian bangunan tersebut disengaja untuk mengintai kegiatan di Benteng Vastenburg milik Belanda yang berada disebelah timur laut karaton. Memang tampaknya, walaupun karaton Surakarta tuduk pada pemerintahan Belanda, keduanya tetap saling mengintai.

Ibarat minyak dan air yang selalu terpisah jelas kendati dalam satu wadah. Belanda mendirikan Benteng Vastenburg untuk mengamati kegiatan karaton, sedangkan PB III yang juga tidak percaya pada Belanda, balas mendirikan Panggung Sangga Buwana untuk mengintai kegiatan beteng. Namun tak-tik PB III sempat diketahui oleh Belanda. Setidaknya Belanda curiga terhadap panggung yang didirikan itu. Dan ketika di tegur, PB III berdalih bahwa panggung tersebut didirikan untuk upacara dengan Kangjeng Ratu Kidul semata tanpa tendensi politik sedikitpun. Lantai teratas merupakan inti dari bangunan ini, yang biasa disebut tutup saji. Fungsi atau kegunaan dari ruang ini bila dilihat secara strategis dan filosofis atau spiritual adalah: 1. Secara strategis, dapat digunakan untuk melihat Solo dan sekitarnya.

Untuk dapat melihat kota Solo dari lantai atas panggung dan tidak sembarangan orang yang dapat menaiki, ada petugas yang memang bertugas untuk melihat dengan menggunakan teropong atau kadang-kadang raja Surakarta sendiri yang melakukan pengintaian. Pada jaman dulu raja sering naik keatas untuk melihat bagaimana keadaan kota, rakyat dan musuh. 2. Segi filosofi dan spiritualnya, Panggung Sanggga Buwana merupakan salah satu tempat yang mempunyai hubungan antara Kengjeng Ratu Kencono Sari dengan raja Jawa setempat. Hal yang memperkuat keyakinan bahwa raja-raja Jawa mempunyai hubungan dengan Kangjeng Ratu Kidul atau Kangjeng Ratu Kencono Sari yang dipercaya sebagai penguasa laut dalam hal ini di Laut Selatan dan raja sebagai penguasa daratan, jadi komunikasi didalam tingkatan spiritual antara raja sebagai penguasa didaratan dan Kangjeng Ratu Kencono Sari sebagai penguasa lautan dikaitkan dengan letak geografis Nusantara sebagai negara maritim.

Jadi dapat disimpulkan bahwa ruang tutup saji ini digunakan sebagai: - tempat meditasi bagi raja, karena letaknya yang tinggi dan ruang ini memberikan suasana hening dan tentram - tempat meraga sukma bagi raja, untuk mengadakan pertemuan dengan Kangjeng Ratu Kidul. - Tempat untuk mengawasi keadaan atau pemandangan sekeliling karaton. Pada lantai teratas digunakan untuk bersemedi raja dan pertemuan dengan Kangjeng Ratu Kidul terdapt dua kursi yang diperuntukkan bagi raja (kursi sebelah kiri) dan Ratu Kidul (kursi sebelah kanan) yang menghadap ke arah selatan. Arah orientasi dari bangunan ini adalah ke selatan; pintu masuk dari arah selatan dengan tujuan untuk menghormati Kangjeng Ratu Kidul sebagai penguasa Laut Selatan. Diantara dua buah kursi terdapat sebuah meja yang digunakan untuk meletakkan panggageman Kangjeng Ratu Kidul didalam sebuah kotak. Pangageman tersebut diganti setiap tahun menjelang acara Jumenengan raja. Menurut cerita, pada saat mengadakan pertemuan dengan raja, Kangjeng Ratu Kidul mengenakan pakaiannya dan seketika itu juga beliau berwujud seperti manusia. Setelah pertemuan selesai, Kangjeng Ratu Kidul kembali ke alamnya dengan sebelumnya mengembalikan ageman yang dikenakannya ke dalam kotak. Didalam ruang tutup saji yang berdiameter kira-kira 6 meter, pada bagian tepat ditengah ruangan terdapat kolom kayu yang secara simbolis menunjukkan bahwa segala kegiatan yang dilakukan di tutup saji mempunyai hubungan dengan Tuhan.

Kayu yang digunakan adalah kayu jati yang berasal dari hutan donoloyo yang dianggap angker bagi orang jawa. http://www.jawapalace.org Lungsung Jagat dan Jayekatong BUKTI CINTA RATU KIDUL KE SANG SENAPATI Ini cerita lain dari Babad Demak. Berbagai ragam kesaktian melingkupi kehidupan para Raja di Pulau Jawa. Sebutir telor yang dinamai Langsung Jagat dan minyak Jayekatong disebut-sebut punya khasiat luar biasa. Konon, telur Lungsung Jagat dan minyak Jayekatong dahulu dimiliki oleh Panembahan Senopati yang merupakan pemberian dari Kanjeng Ratu Kidul sebagai bukti tanda cintanya kepada sang Senopati. Kedua pusaka ini bukanlah pusaka sembarangan, karena memiliki khasiat menjadikan tubuh menjadi sangat kuat dan memiliki umur yang panjang.

Alkisah, setelah menerima pemberian ini, sang Senopati bertemu dengan Sunan Kadilangu, gurunya. Sunan Kadilangu bertanya kepada sang Senopati bahwa ia diberi apa oleh Ratu Kidul. Sang Senopati menunjukkan benda-benda yang diberikan oleh Ratu Kidul, yaitu telur Lungsung Jagat dan minyak Jayengkatong. Senopati kemudian memberikan benda itu kepada Sunan Kadilangu. Dalam kesempatan itu Sunan Kadilangu ingin singgah ke Mataram. Mereka ingin membuktikan khasiat keduanya. Sang Senopati mempunyai juru taman yang kesukaannya meminum candu sehingga menderita sakit pernafasan. la sering berdoa kepada Yang Mahakuasa agar dianugerahi kekuatan dan umur panjang.

Sang Senopati memberikan telur Lungsung Jagat kepada juru taman. la memberitahukan juru taman bahwa sesudah memakan telur itu penyakitnya akan sembuh dan akan memiliki umur panjang. Sesudah juru taman memakannya, badannya berputar sangat cepat dan tidak berapa lama terdengar bunyi menggelegar, dan bersamaan dengan itu ada pohon yang tumbang. Tiba-tiba juru taman berubah menjadi raksasa yang bertaring dan berambut tebal. Benarlah ternyata khasiat telur Lungsung Jagat menjadikan orang yang memakannya menjadi raksasa yang kuat, sehat, dan berumur panjang. Sunan Kadilangu dan sang Senopati ingin membuktikan khasiat minyak Jayengkatong.

Sang Senopati memanggil dua orang abdinya, bernama Nini Panggung dan Ki Kosa. Begitu ditetesi minyak itu, keduanya menjadi tidak tampak sebab sudah berubah menjadi siluman. Keduanya disuruh oleh Sunan Kadilangu agar mengasuh sang Senopati. Kemudian Nini Panggung dan Ki Kosa disuruh tinggal di pohon beringin tua, sedangkan juru taman disuruh tinggal di Gunung Merapi. Konon karena kesaktian telur Lungsung Jagat dan minyak Jayekatong ini, sampai sekarang ketiga abdi sang Senopati ini tetap dalam wujudnya.

Sang Juru Taman menjadi makhluk gaib yang menjaga kawasan Gunung Merapi. Sedangkan Nini Panggung dan Ki Kosa, menurut cerita masih dapat ditemui oleh orang-orang tertentu yang melakukan tirakat dan semedi di Kotagede Jogjakarta.

Mas Gagah/Babad Demak

Jawadwipa

Sundapura: Tarumanagara, Sunda, Galuh, Pajajaran

Jumat, 23 September 2005M
18 Syaban 1426H



Bandung identik dengan etnik Sunda, Priangan atau Parahyangan. Bagaimana ceritanya? Panjang!

Tadinya saya hanya mencari-cari asal-usul nama jalan di seputaran Dago, yaitu jalan Purnawarman, Sawunggaling, Mundinglaya, Ciungwanara, Ranggagading, Ranggamalela, Ranggagempol, Hariangbanga, Geusan Ulun, Adipati Kertabumi, Dipati Ukur, Suryakancana, Wira Angunangun, Ariajipang, Prabu Dimuntur, Bahureksa, Wastukancana, Gajah Lumantung, Sulanjana, Badaksinga, Bagusrangin, Panatayuda, dan Singaperbangsa. Tidak banyak yang saya dapat dari pencarian Google, juga tidak punya buku referensi untuk saya dongengkan kembali. Jadi hanya saya tulis asal-usul Sunda saja, mungkin nanti saya temukan juga dongeng atau pun sejarah tentang nama-nama jalan di atas.

Disadur, diringkas, dipotong dan didongengkan kembali oleh saya dari situs catatan sejarah kota Bogor. Silakan baca langsung sumbernya jika anda berminat membaca lebih detil.

Nama Sunda mulai digunakan oleh Maharaja Purnawarman dalam tahun 397M untuk menyebut ibukota kerajaan yang didirikannya, Tarumanagara. Tarusbawa, penguasa Tarumanagara yang ke-13 ingin mengembalikan keharuman Tarumanagara yang semakin menurun di purasaba (ibukota) Sundapura. Pada tahun 670M ia mengganti nama Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda (selanjutnya punya nama lain yang menunjukkan wilayah/pemerintahan yang sama seperti Galuh, Kawali, Pakuan atau Pajajaran).

Peristiwa ini dijadikan alasan oleh Kerajaan Galuh untuk memisahkan negaranya dari kekuasaan Tarusbawa. Dalam posisi lemah dan ingin menghindarkan perang saudara, Maharaja Tarusbawa menerima tuntutan Raja Galuh. Akhirnya kawasan Tarumanagara dipecah menjadi dua kerajaan, yaitu Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh dengan Sungai Citarum sebagai batas (Cianjur ke Barat wilayah Sunda, Bandung ke Timur wilayah Galuh).

Menurut sejarah kota Ciamis pembagian wilayah Sunda-Galuh adalah sebagai berikut:

  • Pajajaran berlokasi di Bogor beribukota Pakuan
  • Galuh Pakuan beribukota di Kawali
  • Galuh Sindula yang berlokasi di Lakbok dan beribukota Medang Gili
  • Galuh Rahyang berlokasi di Brebes dengan ibukota Medang Pangramesan
  • Galuh Kalangon berlokasi di Roban beribukota Medang Pangramesan
  • Galuh Lalean berlokasi di Cilacap beribukota di Medang Kamulan
  • Galuh Pataruman berlokasi di Banjarsari beribukota Banjar Pataruman
  • Galuh Kalingga berlokasi di Bojong beribukota Karangkamulyan
  • Galuh Tanduran berlokasi di Pananjung beribukota Bagolo
  • Galuh Kumara berlokasi di Tegal beribukota di Medangkamulyan

Tarusbawa bersahabat baik dengan raja Galuh Bratasenawa atau Sena. Purbasora –yang termasuk cucu pendiri Galuh– melancarkan perebutan tahta Galuh di tahun 716M karena merasa lebih berhak naik tahta daripada Sena. Sena melarikan diri ke Kalingga (istri Sena; Sanaha, adalah cucu Maharani Sima ratu Kalingga).

Sanjaya, anak Sena, ingin menuntut balas kepada Purbasora. Sanjaya mendapat mandat memimpin Kerajaan Sunda karena ia adalah menantu Tarusbawa. Galuh yang dipimpin Purbasora diserang habis-habisan hingga yang selamat hanya satu senapati kerajaan, yaitu Balangantrang.

Sanjaya yang hanya berniat balas dendam terpaksa harus naik tahta juga sebagai Raja Galuh, sebagai Raja Sunda ia pun harus berada di Sundapura. Sunda-Galuh disatukan kembali hingga akhirnya Galuh diserahkan kepada tangan kanannya yaitu Premana Dikusuma yang beristri Naganingrum yang memiliki anak bernama Surotama alias Manarah.

Premana Dikusuma adalah cucu Purbasora, harus tunduk kepada Sanjaya yang membunuh kakeknya, tapi juga hormat karena Sanjaya disegani, bahkan disebut rajaresi karena nilai keagamaannya yang kuat dan memiliki sifat seperti Purnawarman. Premana menikah dengan Dewi Pangreyep –keluarga kerajaan Sunda– sebagai ikatan politik.

Di tahun 732M Sanjaya mewarisi tahta Kerajaan Medang dari orang tuanya. Sebelum ia meninggalkan kawasan Jawa Barat, ia mengatur pembagian kekuasaan antara putranya, Tamperan dan Resiguru Demunawan. Sunda dan Galuh menjadi kekuasaan Tamperan, sedangkan Kerajaan Kuningan dan Galunggung diperintah oleh Resiguru Demunawan.

Premana akhirnya lebih sering bertapa dan urusan kerajaan dipegang oleh Tamperan yang merupakan ‘mata dan telinga’ bagi Sanjaya. Tamperan terlibat skandal dengan Pangreyep hingga lahirlah Banga (dalam cerita rakyat disebut Hariangbanga). Tamperan menyuruh pembunuh bayaran membunuh Premana yang bertapa yang akhirnya pembunuh itu dibunuh juga, tapi semuanya tercium oleh Balangantrang.

Balangantrang dengan Manarah merencanakan balas dendam. Dalam cerita rakyat Manarah dikenal sebagai Ciung Wanara. Bersama pasukan Geger Sunten yang dibangun di wilayah Kuningan Manarah menyerang Galuh dalam semalam, semua ditawan kecuali Banga dibebaskan. Namun kemudian Banga membebaskan kedua orang tuanya hingga terjadi pertempuran yang mengakibatkan Tamperan dan Pangreyep tewas serta Banga kalah menyerah.

Perang saudara tersebut terdengar oleh Sanjaya yang memimpin Medang atas titah ayahnya. Sanjaya kemudian menyerang Manarah tapi Manarah sudah bersiap-siap, perang terjadi lagi namun dilerai oleh Demunawan, dan akhirnya disepakati Galuh diserahkan kepada Manarah dan Sunda kepada Banga.

Konflik terus terjadi, kehadiran orang Galuh sebagai Raja Sunda di Pakuan waktu itu belum dapat diterima secara umum, sama halnya dengan kehadiran Sanjaya dan Tamperan sebagai orang Sunda di Galuh. Karena konflik tersebut, tiap Raja Sunda yang baru selalu memperhitungkan tempat kedudukan yang akan dipilihnya menjadi pusat pemerintahan. Dengan demikian, pusat pemerintahan itu berpindah-pindah dari barat ke timur dan sebaliknya. Antara tahun 895M sampai tahun 1311M kawasan Jawa Barat diramaikan sewaktu-waktu oleh iring-iringan rombongan raja baru yang pindah tempat.

Dari segi budaya orang Sunda dikenal sebagai orang gunung karena banyak menetap di kaki gunung dan orang Galuh sebagai orang air. Dari faktor inilah secara turun temurun dongeng Sakadang Monyet jeung Sakadang Kuya disampaikan.

Hingga pemerintahan Ragasuci (1297M–1303M) gejala ibukota mulai bergeser ke arah timur ke Saunggalah hingga sering disebut Kawali (kuali tempat air). Ragasuci sebenarnya bukan putra mahkota. Raja sebelumnya, yaitu Jayadarma, beristrikan Dyah Singamurti dari Jawa Timur dan memiliki putra mahkota Sanggramawijaya, lebih dikenal sebagai Raden Wijaya, lahir di Pakuan. Jayadarma kemudian wafat tapi istrinya dan Raden Wijaya tidak ingin tinggal di Pakuan, kembali ke Jawa Timur.

Kelak Raden Wijaya mendirikan Majapahit yang besar, hingga jaman Hayam Wuruk dan Gajah Mada mempersatukan seluruh nusantara, kecuali kerajaan Sunda yang saat itu dipimpin Linggabuana, yang gugur bersama anak gadisnya Dyah Pitaloka Citraresmi pada perang Bubat tahun 1357M. Sejak peristiwa Bubat, kerabat keraton Kawali ditabukan berjodoh dengan kerabat keraton Majapahit.

Menurut Kidung Sundayana, inti kisah Perang Bubat adalah sebagai berikut (dikutip dari JawaPalace):

Tersebut negara Majapahit dengan raja Hayam Wuruk, putra perkasa kesayangan seluruh rakyat, konon ceritanya penjelmaan dewa Kama, berbudi luhur, arif bijaksana, tetapi juga bagaikan singa dalam peperangan. Inilah raja terbesar di seluruh Jawa bergelar Rajasanagara. Daerah taklukannya sampai Papua dan menjadi sanjungan empu Prapanca dalam Negarakertagama. Makmur negaranya, kondang kemana-mana. Namun sang raja belum kawin rupanya. Mengapa demikian? Ternyata belum dijumpai seorang permaisuri. Konon ceritanya, ia menginginkan isteri yang bisa dihormati dan dicintai rakyat dan kebanggaan raja Majapahit. Dalam pencarian seorang calon permaisuri inilah terdengar khabar putri Sunda nan cantik jelita yang mengawali dari Kidung Sundayana.

Apakah arti kehormatan dan keharuman sang raja yang bertumpuk dipundaknya, seluruh Nusantara sujud di hadapannya. Tetapi engkau satu, jiwanya yang senantiasa menjerit meminta pada yang kuasa akan kehadiran jodohnya. Terdengarlah khabar bahwa ada raja Sunda (Kerajaan Kahuripan) yang memiliki putri nan cantik rupawan dengan nama Diah Pitaloka Citrasemi.

Setelah selesai musyawarah sang raja Hayam Wuruk mengutus untuk meminang putri Sunda tersebut melalui perantara yang bernama tuan Anepaken, utusan sang raja tiba di kerajaan Sunda. Setelah lamaran diterima, direstuilah putrinya untuk di pinang sang prabu Hayam Wuruk. Ratusan rakyat menghantar sang putri beserta raja dan punggawa menuju pantai, tapi tiba-tiba dilihatnya laut berwarna merah bagaikan darah. Ini diartikan tanda-tanda buruk bahwa diperkirakan putri raja ini tidak akan kembali lagi ke tanah airnya. Tanda ini tidak dihiraukan, dengan tetap berprasangka baik kepada raja tanah Jawa yang akan menjadi menantunya.

Sepuluh hari telah berlalu sampailah di desa Bubat, yaitu tempat penyambutan dari kerajaan Majapahit bertemu. Semuanya bergembira kecuali Gajahmada, yang berkeberatan menyambut putri raja Kahuripan tersebut, dimana ia menganggap putri tersebut akan “dihadiahkan” kepada sang raja. Sedangkan dari pihak kerajaan Sunda, putri tersebut akan “di pinang” oleh sang raja. Dalam dialog antara utusan dari kerajaan Sunda dengan patih Gajahmada, terjadi saling ketersinggungan dan berakibat terjadinya sesuatu peperangan besar antara keduanya sampai terbunuhnya raja Sunda dan putri Diah Pitaloka oleh karena bunuh diri. Setelah selesai pertempuran, datanglah sang Hayam Wuruk yang mendapati calon pinangannya telah meninggal, sehingga sang raja tak dapat menanggung kepedihan hatinya, yang tak lama kemudian akhirnya mangkat. Demikian inti Kidung.

Sunda-Galuh kemudian dipimpin oleh Niskala Wastukancana, turun temurun hingga beberapa puluh tahun kemudian Kerajaan Sunda mengalami keemasan pada masa Sri Baduga Maharaja, Sunda-Galuh dalam prasasti disebut sebagai Pajajaran dan Sri Baduga disebut oleh rakyat sebagai Siliwangi, dan kembali ibukota pindah ke barat.

Menurut sumber Portugis, di seluruh kerajaan, Pajajaran memiliki kira-kira 100.000 prajurit. Raja sendiri memiliki pasukan gajah sebanyak 40 ekor. Di laut, Pajajaran hanya memiliki 6 buah Jung (kapal laut model Cina) untuk perdagangan antar-pulaunya (saat itu perdagangan kuda jenis Pariaman mencapai 4000 ekor/tahun).

Selain tahun 1511 Portugis menguasai Malaka, VOC masuk Sunda Kalapa, Kerajaan Islam Banten, Cirebon dan Demak semakin tumbuh membuat kerajaan besar Sunda-Galuh Pajajaran semakin terpuruk hingga perlahan-lahan pudar, ditambah dengan hubungan dagang Pajajaran-Portugis dicurigai kerajaan di sekeliling Pajajaran. Stop.

Lanjut!

Setelah Kerajaan Sunda-Galuh-Pajajaran memudar kerajaan-kerajaan kecil di bawah kekuasaan Pajajaran mulai bangkit dan berdiri-sendiri, salah satunya adalah Kerajaan Sumedang Larang (ibukotanya kini menjadi Kota Sumedang). Kerajaan Sumedang Larang didirikan oleh Prabu Geusan Ulun Adji Putih atas perintah Prabu Suryadewata sebelum Keraton Galuh dipindahkan kembali ke Pakuan Pajajaran, Bogor.

Kerajaan Sumedang pada masa Prabu Geusan Ulun mengalami kemajuan yang pesat di bidang sosial, budaya, agama (terutama penyebaran Islam), militer dan politik pemerintahan. Setelah wafat pada tahun 1608, putranya, Pangeran Rangga Gempol Kusumadinata/Rangga Gempol I atau yang dikenal dengan Raden Aria Suradiwangsa naik tahta. Namun, pada saat Rangga Gempol memegang kepemimpinan, pada tahun 1620M Sumedang Larang dijadikan wilayah kekuasaan Kerajaan Mataram di bawah Sultan Agung, dan statusnya sebagai ‘kerajaan’ diubah menjadi ‘kabupaten’.

Sultan Agung memberi perintah kepada Rangga Gempol I beserta pasukannya untuk memimpin penyerangan ke Sampang, Madura. Sedangkan pemerintahan sementara diserahkan kepada adiknya, Dipati Rangga Gede. Hingga suatu ketika, pasukan Kerajan Banten datang menyerbu dan karena setengah kekuatan militer kabupaten Sumedang Larang diberangkatkan ke Madura atas titah Sultan Agung, Rangga Gede tidak mampu menahan serangan pasukan Banten dan akhirnya melarikan diri. Kekalahan ini membuat marah Sultan Agung sehingga ia menahan Dipati Rangga Gede, dan pemerintahan selanjutnya diserahkan kepada Dipati Ukur. Sekali lagi, Dipati Ukur diperintahkan oleh Sultan Agung untuk bersama-sama pasukan Mataram untuk menyerang dan merebut pertahanan Belanda di Batavia (Jakarta) yang pada akhirnya menemui kegagalan. Kekalahan pasukan Dipati Ukur ini tidak dilaporkan segera kepada Sultan Agung, diberitakan bahwa ia kabur dari pertanggungjawabannya dan akhirnya tertangkap dari persembunyiannya atas informasi mata-mata Sultan Agung yang berkuasa di wilayah Priangan.

Setelah habis masa hukumannya, Dipati Rangga Gede diberikan kekuasaan kembali untuk memerintah di Sumedang, sedangkan wilayah Priangan di luar Sumedang dan Galuh (Ciamis) dibagi kepada tiga bagian; Pertama, Kabupaten Bandung, yang dipimpin oleh Tumenggung Wiraangunangun, kedua, Kabupaten Parakanmuncang oleh Tanubaya dan ketiga, kabupaten Sukapura yang dipimpin oleh Tumenggung Wiradegdaha atau R. Wirawangsa atau dikenal dengan “Dalem Sawidak” karena memiliki anak yang sangat banyak.

Selanjutnya Sultan Agung mengutus Penembahan Galuh bernama R.A.A. Wirasuta yang bergelar Adipati Panatayuda atau Adipati Kertabumi III (anak Prabu Dimuntur, keturunan Geusan Ulun) untuk menduduki Rangkas Sumedang (Sebelah Timur Citarum). Selain itu juga mendirikan benteng pertahanan di Tanjungpura, Adiarsa, Parakansapi dan Kuta Tandingan. Setelah mendirikan benteng tersebut Adipati Kertabumi III kemudian kembali ke Galuh dan wafat. Nama Rangkas Sumedang itu sendiri berubah menjadi Karawang karena kondisi daerahnya berawa-rawa, karawaan.

Sultan Agung Mataram kemudian mengangkat putra Adipati Kertabumi III, yakni Adipati Kertabumi IV menjadi Dalem (Bupati) di Karawang, pada Tahun 1656M. Adipati Kertabumi IV ini juga dikenal sebagai Panembahan Singaperbangsa atau Eyang Manggung, dengan ibu kota di Udug-udug. Pada masa pemerintahan R. Anom Wirasuta putra Panembahan Singaperbangsa yang bergelar R.A.A. Panatayuda I antara Tahun 1679M dan 1721M ibu kota Karawang dari Udug-udug pindah ke Karawang. Stop.

Jadi nama jalan Sawunggaling, Mundinglaya, Ranggagading, Ranggamalela, Suryakancana, Ariajipang, Bahureksa, Gajah Lumantung, Sulanjana, Badaksinga dan Bagusrangin belum saya temukan dongeng atau sejarahnya, sebagian –kalau tidak salah ingat– adalah tokoh-tokoh dalam cerita rakyat Lutung Kasarung.


Sabtu, 03 Mei 2008

Gunung Gambar,Pertapaan Samber Nyawa

Gunung Gambar adalah bekas pertapaan Raden Mas Said atau lebih dikenal sebagai Pangeran Samber Nyawa pada masa perang melawan penjajah Belanda.Obyek wisata yang terletak di desa Kampung, Ngawen, Gunung Kidul ini terus dikembangkan dengan berbagai fasilitas pendukung untuk memudahkan para pengunjung dalam menikmati pemandangan di sekitarnya. Berjarak 39 Km dari kota Wonosari atau 70 Km dari kota Yogyakarta, obyek wisata ini bisa dicapai dengan segala kendaraan. Obyek wisata Gunung Gambar terletak 200 meter lebih di atas permukaan laut sehingga apabila berdiri di puncaknya kita dapat melihat rawa Jombor di Klaten serta genangan waduk Gajah Mungkur di kejauhan. Dengan kelengkapan toilet, jalan setapak dan gardu pandang serta jalan setapak menuju ke bekas pertapaan Pangeran Samber Nyawa, Obyek wisata ini bertambah nyaman untuk dikunjungi.

Misteri Seorang Anak Desa Kemusuk

"Saya ini benar-benar kelahiran Desa Kemusuk dan memang anak petani dari Desa Kemusuk...."

Suara bariton Soeharto menguasai ruang kerja kepresidenan di Bina Graha, Jakarta, Senin siang pada pengujung Oktober 1974. Di dalam gedung di samping Istana Negara itu, Soeharto mengundang sekitar seratus wartawan dalam dan luar negeri. Acaranya, Soeharto menceritakan tentang silsilah riwayat hidupnya.

Pertemuan yang juga dihadiri sejumlah pejabat teras saat itu memang langka. Boleh dibilang, hampir tak pernah terjadi Kepala Negara, yang pada dasarnya pendiam itu, membentangkan satu bagian dari sejarah hidupnya secara khusus kepada publik selama sekitar dua jam. Mengapa?

Semua bermula dari artikel majalah POP yang terbit di Jakarta. Dalam edisi No. 17, Oktober 1974, POP--singkatan Peragaan, Olahraga, Perfilman--terbit dengan tulisan bertajuk Teka-teki Sekitar Garis Keturunan Soeharto. "Tulisan itu tidak saja merugikan saya pribadi, tapi juga keluarga dan leluhur saya," kata Soeharto di hadapan wartawan waktu itu.

Tulisan lima halaman itu bercerita tentang silsilah riwayat hidup Soeharto. Kisahnya berbeda dengan silsilah yang ditulis dalam buku The Smiling General karya O.G. Roeder terbitan Gunung Agung, Jakarta, 1969. Menurut artikel itu, Soeharto sebenarnya anak seorang priayi keturunan Sri Sultan Hamengku Buwono II. Priayi itu bernama R.L. Prawirowiyono, yang bergelar R. Rio Padmodipuro.

Suatu hari, Rio terpaksa menitipkan istri dan anaknya kepada orang desa yang bernama Kertorejo, sebab ia harus menikah lagi dengan putri seorang wedana yang berpengaruh. Kala itu si anak, katanya bernama R. Soeharto, telah berusia 6-7 tahun. Ini sebuah tragedi yang sungguh menyedihkan, kata majalah itu mengutip ucapan seseorang.

Sejak itu ayah, ibu, dan anak tak pernah mencoba saling berhubungan lagi. Hingga sang ayah meninggal pada 1962, ia tak sempat melihat wajah putranya yang telah dibuangnya, yang tak lain--menurut majalah POP dengan nada pasti--adalah Soeharto, Presiden RI kedua dan penguasa Orde Baru.

Sebenarnya, sekitar dua tahun sebelum artikel POP itu terbit, bisik-bisik tentang "silsilah" tersebut mulai santer di Yogyakarta. Dan hasilnya tampaknya telah dikirimkan kepada Soeharto langsung. Seperti diungkapkan Soeharto di depan ratusan wartawan di Bina Graha pada 28 Oktober 1974, soal silsilah itu telah lama didengarnya. "Bahkan ada yang tulis surat kepada saya dalam bentuk cerita," katanya.

Menurut Soeharto, isi ceritanya tentang seseorang yang kehilangan anaknya sejak kecil dan selalu dicari, sekarang ini bisa diketemukan. Bahkan anak itu telah memperoleh kedudukan tertinggi, menjadi presiden. Si orang tua yang mencari kini mengharapkan kedatangan anak itu untuk menerima warisan.

Saat itu, Soeharto segera mafhum apa yang dimaksud. Karena ia tahu siapa yang menulis surat itu (Soeharto tak menyebut nama), maka dijawabnya: gambaran bahwa dia si anak yang dicari dan kemudian ditemukan itu tak benar. "Saya adalah anak yang dilahirkan di Desa Kemusuk," katanya menegaskan.

Soeharto lalu menceritakan kisah hidupnya. Katanya, ia dilahirkan pada 8 Juni 1921 di Desa Kemusuk, sebuah desa terpencil di wilayah Argomulyo, Godean, sebelah barat Kota Yogyakarta. Ibunya bernama Sukirah. Sedangkan ayahnya, Kertosudiro, adalah ulu-ulu atau petugas desa pengatur air yang bertani di atas tanah lungguh, tanah jabatan selama memikul tugasnya itu. "Beliau yang memberi nama Soeharto kepada saya."

Kertosudiro, menurut keterangan Soeharto, seorang duda beranak dua. Jadi, ia anak ketiga dari Kertosudiro dengan ibu Sukirah. Hanya, hubungan Kertosudiro-Sukirah ternyata kurang serasi sehingga, begitu Soeharto lahir, orang tuanya bercerai. Soeharto kemudian diasuh Mbah Kromodiryo, dukun yang biasa menolong orang melahirkan, termasuk menolong kelahiran Soeharto. "Nama panggilannya adalah Mbah Kromo, adik kakek saya, Mbah Kertoirono," kata Soeharto.

Beberapa tahun kemudian Ibu Sukirah menikah lagi dengan seseorang bernama Atmopawiro. Pernikahannya itu melahirkan tujuh orang anak: Sukiyem, Sucipto, Nyonya Haryowiyatmo, Probosutejo, Suminah, Suwito, dan Nyonya Suharjo. Sedangkan ayah Soeharto juga menikah lagi. Dan dari pernikahan yang ketiganya itu ia mendapat empat anak lagi: Nyonya Harsono, Santoso, Nyonya Juhron, dan Nyonya Tubagus Sulaeman.

Begitulah Soeharto mengisahkan sejarah hidupnya. Waktu itu, silsilah versi resmi Soeharto itu dibagi-bagikan kepada para wartawan. Yang jelas, dalam pandangan Soeharto, tuduhan yang dimuat POP itu bisa menimbulkan perdebatan dan perbedaan serius dalam masyarakat. Sebab, tuduhan itu memberikan kesempatan yang baik untuk subversi, mengganggu stabilitas nasional, dan akan mempermalukan bangsa. "Juga akan menciptakan ketidakpercayaan kepada pemimpinnya," Soeharto menandaskan.

Tapi, benarkah artikel dalam majalah POP itu gosip belaka? Dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, awal Januari 1975, Rey Hanityo, Pemimpin Redaksi dan Penanggung Jawab POP, menyodorkan pembelaan. Katanya, artikel tentang silsilah riwayat hidup Soeharto itu merupakan hasil penelitian wartawan POP dari sumber berita yang dapat dipercaya. Dan tulisan itu sedikit pun tak bermaksud menghina presiden. Itu sekadar menyumbangkan tulisan untuk bahan perbandingan antara versi majalah POP dan buku The Smiling General karya O.G. Roeder. Harapannya, "Pak Harto sudi menerimanya untuk jadi bahan baru," ujar Rey kepada Tempo saat itu.

Tapi Soeharto malah berang. Ia membantah semua yang ditulis POP. Dan majalah itu pun dibredel: Surat Izin Cetak dan Surat Izin Terbit dicabut. Rey Hanityo--yang asal Tegal, Jawa Tengah--dijebloskan ke penjara. Tamatlah riwayat majalah dwi-mingguan itu. Padahal, tulisan itu seharusnya bersambung pada edisi berikutnya.

Tempo mencoba menyibak misteri di sekitar silsilah Kemusuk itu. Romo Satroatmojo, abdi dalem juru serat keraton, sekaligus ipar R. Rio Padmodipuro, mengungkapkan bahwa ia menyaksikan langsung kelahiran Soeharto. Menurut dia, Soeharto merupakan anak bekel (abdi dalem) Prawirowiyono, yang kemudian bergelar R. Rio Padmodipuro, dari istri pertamanya: Sukirah.

Pada usia 0-7 tahun, Soeharto tinggal di belakang Jayeng Prakosan di Suronatan, Yogyakarta. Setelah itu, Soeharto kecil kemudian diboyong ke Desa Kemusuk. Tapi sayang, ayahnya melupakannya dan tak pernah mengirimkan nafkah karena takut kepada mertuanya, Jayeng Prakosa, yang saat itu mempunyai kekuasaan besar dan punya kedekatan dengan Sultan Hamengku Buwono VII, sebagai raja saat itu.

Setelah Soeharto diungsikan ke Kemusuk, beberapa kali kakak Rio, RA Martopuro, menengoknya. Bahkan ia ingin memboyong Soeharto ke rumahnya, di nDalem Notoprajan, namun ditentang adiknya, Jayeng Turangga. Upaya RA Martopuro itu sesungguhnya juga atas keinginan Rio, agar ayah-anak itu tak kehilangan jejak. "Rio, yang pendiam dan takut pada istri kedua dan mertuanya, akhirnya mengalah diam," ujar Romo Sas, panggilan akrabnya, kepada Tempo yang menemuinya dua tahun sebelum ia meninggal pada 2004.

Kisah serupa dituturkan Romo Gayeng. Menurut dia, ayahnya, Raden Mas Purbowaseso (dulu juga dipanggil Romo Gayeng), pernah menceritakan riwayat Soeharto. "Kesaksian itu dimuat majalah POP edisi Oktober 1974," katanya saat ditemui di rumahnya di Kampung Jambu, Yogyakarta, Agustus 2001 lalu.

Ayah Romo Gayeng, RM Purbowaseso, adalah kakak kandung R. Rio Padmodipuro. Ketika Soeharto lahir, R. Rio Padmodipuro masih berpangkat bekel (abdi dalem) dan bernama R.B. Prawirowiyono. Setelah menikah, ia tinggal di Kampung Suronatan sampai lahirnya Soeharto.
Kelahiran Soeharto ternyata tak membawa kebahagiaan bagi Sukirah, karena Prawirowiyono diambil menantu oleh Mas Wedono Jayeng Prakosa, seorang wedana keraton yang dekat dan disayang Sri Sultan Hamengku Buwono VII. "Pengaruh Jayeng Prakosa yang sangat kuat membuat Prawirowiyono tak berani menolak."

Takut akan mempengaruhi kedudukannya, ia mengungsikan istri dan anaknya (Soeharto) yang masih bayi ke sebuah rumah di belakang Jayeng Prakosan. Walau telah disembunyikan, akhirnya tetap tercium oleh istri keduanya. Karena bingung, ia mengungsikan istri pertama dan anaknya ke luar kota, di rumah seorang kenalannya yang mempunyai jabatan ulu-ulu di Desa Kemusuk, Argomulyo, Yogyakarta, bernama Kertorejo. "Pada waktu itu umur Soeharto baru sekitar 6-7 tahun," ia menjelaskan.

Begitulah. Mungkin yang cukup menarik adalah pernyataan Sumitro Djojohadikusumo dalam otobiografinya, Jejak Perlawanan Begawan Pejuang. Menurut Sumitro, dalam acara lamaran Prabowo-Titiek, Soeharto pernah berkisah tentang masa kecilnya. Katanya, sewaktu berusia sepuluh tahun, "Soeharto menjadi rebutan antara orang tua angkatnya dan ayah kandungnya yang berasal dari lingkungan keraton."

Bila pernyataan Sumitro itu benar, jelaslah bahwa Soeharto memang pernah keceplosan bicara tentang dirinya yang memang keturunan seorang priayi keraton. Jadi, ia bukan anak petani dari Kemusuk seperti selama ini dikemukakannya. Soalnya: mengapa ia keberatan mengaku sebagai keturunan keraton dan memilih menyebut diri anak petani? Adakah hubungannya dengan jabatannya sebagai presiden, yang tentu lebih "dramatis" jika presiden datang dari rakyat kebanyakan?
Sumber: Majalah TEMPO, Edisi 4 - 10 Februari 2008

Gua Mandala Sari

Berikut Adalah Gua Mandala Sari yang Kondang dengan sebutan Gua Semar
Gua Semar atau Gua Mandala Sari, yaitu istana Begawan Sampoerna Djati (Semar), berada di ketinggian lebih dari 2.000 meter di atas permukaan laut. Letaknya di antara kawasan pariwisata. Gampang dijangkau--satu jam perjalanan dari alun-alun Wonosobo--tapi tak mudah memasukinya. Dengan kata lain, harus menempuh rantai izin yang panjang. Pertama-tama, Tempo minta izin ke sang juru kunci. Sang guru kunci itu harus minta izin ke beberapa sesepuh sakti di perkampungan itu. Setelah semua terpenuhi, barulah keluar cerita dari mulut Rusmanto, juru kunci Gua Semar.

Sebelum sampai ke Gua Semar, tutur Rusmanto, Soeharto telah melakukan serangkaian pertapaan: di Gua Jambe Lima dan Gua Jambe Pitu, lalu Gua Suci Rahayu di kawasan Gunung Selok, Cilacap, Jawa Tengah. "Di Suci Rahayu itulah Soeharto melakukan penyucian awal," kata Rusmanto.

Langkah selanjutnya, bertapa ke Gunung Srandil, masih di Cilacap. Gunung di tepi pantai itu dikenal sebagai tempat khusus untuk ziarah. Di sanalah dimakamkan para leluhur tanah Jawa: Eyang Agung Heru Cokro, Eyang Sukmo Sejati, Eyang Kaki Tunggul Sabdo Jaati Doyo Amongrogo, Nini Dewi Tanjung Sekar Sari, dan Eyang Lalangbuono atau yang lebih terkenal disebut Ismoyo Ratu.

Dari sana, Soeharto melanjutkan tapa di Gunung Lawu, tempat menghilangnya raga Raja Brawijaya. Empat tahap pertapaan, di Argo Dalam, Argo Tumila, Argo Piruso, dan Argo Tiling. Setelah itu, ia bertapa lagi di sebuah gunung kecil di Kecamatan Bobotsari, Purbalingga, Jawa Tengah. Selain bertapa, di gunung tersebut juga ada acara nyekar di makam Syekh Jamu Karang. "Barulah setelah itu, lokasi terakhir pertapaan dilakukan di kawasan Dieng," ucap Rusmanto.

Ketika Soeharto datang, kondisi Dieng belum sebagus sekarang. Jalannya berbatu-batu, menanjak dan berlubang. Menurut Rusmanto, Gua Semar istana terakhir Mandala Sari alias Semar. Di gua itulah Semar bersemadi abadi setelah pertapaan di berbagai tempat. Menurut kepercayaan, urut-urutan pertapaan di tanah Jawa selalu berakhir di kawasan Dieng.

Rusmanto tak langsung mengantar Soeharto bertapa. Ia mendapat cerita yang sah dan lengkap--tentang perjalanan tapa Soeharto--dari pamannya, Darmaji, yang ketika itu menjadi juru kunci. Ketika bertapa, Soeharto hanya ditemani oleh juru kunci Darmaji. Para pengawalnya menunggu pada jarak yang agak jauh. Sebelum bertapa, Soeharto harus melakukan bimolukar, atau mandi lulur untuk menghilangkan nafsu angkara murka.

Dari Gua Semar, Soeharto mandi di Telaga Warna, telaga yang melambangkan empat nafsu yang harus dikendalikan: lawamah, amarah, sufiyah, dan mutmainah. Dan pengendalian nafsu itu dilakukan di Gua Jaran, gua yang terletak di sebelah utara Gua Semar. Disebut jaran (kuda) karena gua itu, menurut cerita leluhur di Dieng, awalnya adalah jaran milik Resi Kendali Seto yang bertujuan mengendalikan nafsu manusia yang ada di aliran hitam dan putih.

Gua selanjutnya adalah Gua Sumur. Sedikit lebih lebar dari Gua Semar, dan memiliki sumber air yang tingginya stabil. Musim hujan atau kemarau, volume airnya tetap. Sumber air di gua tersebut juga disebut air kehidupan. Dari penghuni Gua Sumur Soeharto mendapat petunjuk: jangan ragu untuk pasrah kepada Sang Kuwasa (Yang Kuasa), agar selalu dilindungi atau disembuhkan dari berbagai penyakit.

Soeharto menutup perjalanan tapanya di Kawah Si Kijang, simbol hewan yang bisa dijadikan contoh bagi manusia atas kepintaran dan rasa rendah hatinya. Dilanjutkan ke Kawah Sileri, kawah yang mengajarkan agar orang hidup untuk tidak melanggar empat wewaler (aturan), yakni aturan keluarga, masyarakat, negara, dan Tuhan. Dan dua tahap selanjutnya adalah menuju Sumur Jolotundo dan Kawah Condrodimuko.
Sumber: Majalah TEMPO, Edisi 4- 10 Februari 2008

Sendang Semanggi Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta


Pengantar;

Sendang Semanggi terletak di sebelah barat Pabrik gula Madukismo Bantul-Yogyakarta kini terlihat sepi sepi saja namun bila kita mau untuk melihat perjalanan masa lalunya maka dari Sendang Semanggi ini lah kisah Spiritual pemimpin negeri ini pernah berjelajah spiritual di Sendang ini.Berikut petikan kisahnya.

Rama Marta, Rama Dijat, Rama Mesran, Rama Budi Utomo adalah guru-guru kebatinan Jawa yang dipercaya Soeharto. Konon, melalui Soejono Hoemardhani, Soeharto mendengarkan informasi gaib mereka yang sering menjadi landasan kebijakan politiknya.


Pohon beringin, pohon pamrih, pohon sambi. Dinaungi tiga pohon itu, sendang di pebukitan kapur itu tampak teduh. Air sendang sangat jernih hingga endapan lumpur di dasar terlihat dengan jelas.
Kalangan kebatinan Jawa mengenal mata air dalam cekungan batu kapur itu dulu adalah tempat almarhum Rama Martapangarsa, seorang spiritualis Yogyakarta, menempa diri. Syahdan, pada 1940-an, Martapangarsa mendapat wisik agar menyusuri Gunung Sempu. Dia menemukan sebuah mata air yang dirasanya cocok untuk tempat berendam, mengasah kepekaan. Ia menamakannya Sendang Titis, artinya kolam untuk berlatih menajamkan hati. Dibangunnya sebuah padepokan alit, lalu ia tinggal di situ, meninggalkan rumahnya di bilangan Nataprajan, Yogya.

Untuk menuju sendang yang terletak di Dusun Semanggi, Kelurahan Bangunjiwo, Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul, DIY, itu kini tidak terlalu sulit. Ada jalan aspal, meski agak sempit, yang membelah pebukitan kapur tersebut. Sampai di sana, di pendapa bercat kuning yang lusuh, kita masih dapat melihat lukisan wajah almarhum Martapangarsa tergantung di dinding balai. Lukisan itu diapit potret dua almarhum guru lain: Rama Dijat dan Rama Budi Utomo.


Kalangan kebatinan Jawa tahu, sendang itu pernah melintas dalam kehidupan kebatinan Soeharto. Di situlah, pada 1957, lama sebelum Soeharto menjadi presiden, ia oleh Rama Marta dibaptis menjalani "ikatan persaudaraan mistikal" dengan Soedjono Hoemardhani. Dr Budyapradipta, pakar sastra Jawa Universitas Indonesia yang menjadi sekretaris pribadi Soedjono Hoemardani pada 1983–1986, pernah mendengar kisah ini langsung dari mulut Soedjono Hoemardani.


"Pak Djono bercerita di Sendang Titis itulah Rama Marta membaptis Pak Harto menjadi Rama, Pak Djono menjadi Lesmana, Bu Tien menjadi Sinta, Bu Jono menjadi Kunti."
Yang datang pertama kali ke sendang, menurut cerita Soedjono itu, adalah Soedjono dan istrinya. Rama Marta telah menunggu. Baru kemudian datang Soeharto dan Tien. Begitu Soeharto datang, Rama Marta seperti seolah membaca tanda-tanda, kemudian berkata: "Lha iki jago wirig kuningku (lha ini jago aduanku datang)." Wirig kuning dalam budaya Jawa adalah ayam jago yang kaki dan paruhnya berwarna kuning dan dikenal tangguh dalam bertarung.


Pertemuan pertama Soeharto dengan Soedjono terjadi pada Juni 1956 saat bertugas di Semarang. Letnan kolonel Soeharto menjadi kepala staf dan kemudian Panglima Divisi Diponegoro. Pada waktu itu Soedjono adalah kapten. Soedjono dikenal menyukai dunia kebatinan Jawa. Keduanya menemukan kecocokan.


Akhir 1957, Soedjono memainkan peran penting membentuk beberapa perusahaan swasta atas nama Divisi Diponegoro. Saat menjadi presiden, "utang budi" Soeharto kepada Soedjono terus meningkat. Soedjono pada awal Orde Baru ditunjuk Soeharto menjadi staf pribadi (spri) dan kemudian asisten pribadi di bidang ekonomi pada 1966–1974. Setelah kerusuhan anti-Jepang (Malari), Soeharto membubarkan posisi aspri.


Soedjono tidak memiliki jabatan penting. Tapi banyak yang menyebut justru pada saat itulah Soedjono aktif mendukung Soeharto secara spiritual. Soedjono melakukan ritual-ritual. Saat itu kesibukan Soeharto meningkat sehingga tak sempat melakukannya. Soedjono juga memantau terus perkembangan sosial-politik secara gaib. Menurut Budyapradipta, itu dilakukan melalui bantuan guru-guru laku Jawa yang dikenalnya selama bergaul dengan Soeharto.


Setelah kembali ke Jakarta, sejak menjadi Panglima Diponegoro, Soeharto, misalnya, sering berdiskusi dengan Mesran Hadi Prayitno, seorang perwira menengah Angkatan Darat yang sama-sama menyukai spiritualitas Jawa. Kepada Soeharto, Mesran menyarankan, jika benar-benar ingin memperdalam spiritualitas Jawa, Soeharto harus bertemu dengan seorang guru bernama Raden Panji Soedijat Prawirokoesoemo atau yang lebih dikenal sebagai Rama Dijat.


Pada 1963, Mesran dan Soeharto bertemu Rama Dijat di rumah orang tua Romo Dijat yang bernama Prawiro Dinomo di Dukuh Gopetan, Desa Gemblegan Kalipotes, Klaten. Soeharto kaget, ternyata Rama Dijat adalah lelaki misterius yang pernah ditemuinya pada 1961 saat ia melakukan ziarah di makam leluhur raja-raja Majapahit di situs Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur.


Waktu itu Soeharto melihat seorang lelaki yang tengah melakukan meditasi dan berhasil melakukan komunikasi dengan alam gaib. Usai meditasi, lelaki tersebut meninggalkan Trowulan. Soeharto terkesan, kagum dan penasaran terhadap lelaki itu. Ia ingin tahu lebih banyak tentang laki-laki itu, tapi laki-laki itu telah menghilang. Dan kini ternyata sosok penuh teka-teki itu ada di hadapannya.


Pada pertemuan Klaten itu, Soeharto langsung menyatakan diri menjadi murid Rama Dijat. Rama Dijat sendiri saat itu tinggal di Semarang. Soeharto kemudian hampir tidak pernah absen mengikuti sarasehan antara Rama Dijat dan murid-muridnya setiap selapan (35 hari) pada Selasa Pahing malam yang dilakukan di rumah Rama Dijat, Jalan Sriwijaya 70 Semarang. Tak hanya acara selapan, setiap membutuhkan konsultasi, Soeharto datang ke Semarang. Saat menjadi presiden, di luar jadwal kepresidenan, Soeharto masih menyempatkan diri ke Semarang. Tak jarang Rama Dijat via Soedjono diundang ke istana atau diutus mencari sesuatu.
"Pak Djono pernah bercerita bagaimana ia bersama Romo Dijat mencari pohon wijayakusuma di dekat Nusakambangan yang lautnya ganas," tutur Budyapradipta. Bunga wijayakusuma dalam kisah pewayangan adalah senjata Kresna. Di Jawa, banyak tumbuh bunga wijayakusuma. Bunga ini mengeluarkan bau harum pada waktu dini hari. Namun, ternyata Rama Dijat bukan hanya mencari bunga ini.


Bunga wijayakusuma yang diinginkan, menurut mereka, hanya tumbuh di sebuah pulau kecil dekat Nusakambangan. Dengan bentuk kecil-kecil, bunga Wijayakusuma dipercaya memberi tanda negara bakal baik. Setelah Soedjono dan Rama Dijat mendapatkannya, pohon ini ditanam di Cendana, Keraton Solo, dan rumah Soedjono.


***
Rama Marta, Rama Budi Utama, Rama Dijat, dan Rama Mesran boleh dianggap sebagai "ring satu" dunia kebatinan Soeharto pada masa lalu. Mereka dianggap memiliki daya linuwih, terutama karena kemampuan berdialog dengan roh leluhur melalui teknik meditasi yang dalam bahasa Jawa disebut njarwa.

Kebudayaan Jawa memiliki cara tua yang telah teruji ratusan tahun untuk mampu berkomunikasi dengan leluhur. Leluhur ini dianggap utusan Tuhan yang pernah terlahirkan sebagai manusia. Leluhur ini akan memberikan pesan-pesan (dhawuh). Ketika masuk dalam diri seorang medium, kata-kata leluhur ini hadir di anak lidah (kerongkongan) medium, hingga leluhur itu bisa diajak berdialog secara sadar.


Hal ini berbeda dengan trance, karena roh yang hadir dalam trance menempel di ujung lidah. Dalam trance medium yang bersangkutan tidak sadar sehingga tidak bisa berdialog. Ucapan yang keluar dari mulutnya hanya disampaikan satu arah. Maka dari itu, seseorang yang dapat melakukan njarwa bukan disebut kesurupan, melainkan kalenggahan (dari kata lenggah, duduk).
Soedjono sangat percaya pada dhawuh-dhawuh yang disampaikan Rama Marta, Rama Budi Utomo, Rama Dijat, dan Rama Mesran. Dhawuh-dhawuh tersebut dianggapnya lebih akurat ketimbang prediksi dan analisis para doktor atau pakar mana pun. "Intelektual nggak patut didengar, tidak ada unsur ketuhanannya," begitu Soedjono suatu kali mengatakan kepada Budyapradipta. Soedjono aktif mengundang para pinisepuh di atas untuk melakukan njarwa demi mengetahui situasi politik mutakhir. Informasi dari "dunia atas" itu secara rutin dilaporkan kepada Soeharto..


Selama menjadi sekretaris, Budyapradipta selalu mendampingi dan mencatat dhawuh-dhawuh yang keluar dari para guru di atas.
Para rama itu, menurut dia, memiliki spesialisasi sendiri-sendiri. Rama Dijat diminta untuk menjarwa soal-soal kenegaraan. Romo Marta untuk soal kemasyarakatan dan kerumahtanggaan. Rama Budi untuk hal-hal yang sifatnya pribadi. Bila roh datang, karakter suara yang muncul antara rama satu dan rama lain berbeda intonasinya. Bila Romo Marta kalenggahan, misalnya, didahului ketawa ngakak.


Tapi menurut Budya, secara umum, ada tanda-tanda yang sama. "Waktu roh datang, para guru itu seperti keselek (tersedak)," katanya. "Lalu ada suara masuk yang lebih berat, meninggi, dan berbahasa ngoko, menandakan posisinya lebih tinggi dari orang yang diajak bicara." Menurut Budya, ciri-ciri kalimat leluhur itu rapi. Sebagai ahli bahasa Jawa kuno sendiri, ia takjub mendengar kosakata yang keluar sangat kaya. Menurut dia, banyak ungkapan-ungkapan metafor yang bahkan tidak ada dalam kamus Jawa susunan Zoetmulder maupun Ki Padmo. "Misalnya ada ungkapan lobok ora coplok, sesak ora nggebok…."


Banyak kebijakan politik Soeharto, sebelum dikeluarkan, dikomunikasikan dulu dengan para leluhur. "Menurut Pak Djono, saat GBHN dibuat dan saat Indonesia mau merebut Timor Timur, Soeharto terus-menerus meminta pertimbangan dhawuh ini." Soeharto merasa kebijakannya akan lebih sah, mantap, bila leluhur mendukungnya.


Ada sebuah kejadian menarik. Pada waktu Soeharto hendak melakukan kunjungan ke Filipina dan Australia, Rama Dijat diundang Soedjono ke rumahnya. Roh yang masuk dalam diri Rama Dijat mengatakan bahwa yang harus diawasi benar adalah perjalanan Soeharto ke Australia. "Pesan" itu disampaikan Soedjono kepada Yoga Soegama sebagai pemimpin Bakin saat itu. Tapi Yoga mengatakan bahwa analisis intelijennya menganggap mereka harus waspada dengan keamanan di Filipina lantaran Marcos baru saja digulingkan.


Kenyataannya, saat Presiden Soeharto ke Filipina, kondisi aman saja. Sementara di Australia, Soeharto disambut demonstran dengan lemparan tomat dan telur busuk yang mengenai dahinya. Ketika pulang ke Jakarta, Yoga Soegama langsung didamprat oleh Soedjono. "Yoga, mangkane ojo nyepeleake intel spiritualku (Yoga, maka dari itu jangan menyepelekan intel spiritualku)."


Saat peristiwa Tanjung Priok, Budya juga ingat, pada pukul 11 malam, Soedjono memanggil Rama Mesran ke rumahnya untuk meminta dhawuh leluhur bagaimana cara memadamkan kerusuhan itu. Esoknya, Soedjono menelepon Benny Moerdani. Menurut Budya, "Saya melihat sendiri Benny datang, lalu Pak Djono memberikan tongkat dari pohon bodhi kepada Benny; tongkat itu telah dijopa-japu." Tongkat itu, menurut Soedjono, akan memberikan rasa wibawa pada diri Benny hingga kerusuhan itu bisa diatasi.


Syahdan, pada 1985, terjadi demonstrasi dari Himpunan Mahasiswa Islam. Peristiwa ini membangkitkan kegusaran Soeharto. Soedjono berinisiatif memanggil Romo Mesran. Roh yang masuk ke dalam diri Romo Mesran menyuruh: golek penthil pelem ijo neng Mojokerto (carilah mangga muda di Mojokerto). Sore itu juga, Soedjono mengutus Budyapradipta ke Mojokerto. "Saya naik pesawat Garuda ke Surabaya, terus naik mobil ke Mojokerto," kata Budya.


Begitu mendapat mangga muda—padahal, kala itu sedang tidak musim mangga—Budya langsung terbang lagi ke Jakarta menuju kediaman Soedjono. Menjelang dini hari, Budya lalu mendampingi Soedjono dan Rama Mesran membawa mangga muda itu menuju istana.


Di istana, bak cerita sinetron, Paswalpres mencegat mobil mereka. Begitu Soedjono melongok dari kaca jendela, mobil dibiarkan masuk. "Kami mengendarai VW Combi ke istana," kenang Budya. Romo Mesran kemudian menitahkan agar mangga muda itu dipendam di bawah tiang bendera. "Malam-malam saya menggali tanah istana dan menanam mangga," kata Budya.


Berkat mangga muda itu, menurut Soedjono, esoknya demonstrasi itu mereda.
Kegiatan rutin batiniah untuk Soeharto?
Setiap malam Jumat, Soedjono secara rutin menggelar kegiatan njarwa di rumahnya, Jalan Diponegoro. Mereka yang hadir berjumlah sekitar 40 sampai 100 orang. Budya ingat, bila leluhur "masuk" ke dalam tubuh Romo Misran, kalimat awalnya adalah "Iyo Ngger…(ya Nak)." Langsung semua yang hadir secara koor sembari sungkem mengatakan: "Sugeng rawuh… (selamat datang, Eyang)." Setelah dhawuh itu didengar, biasanya lalu "geng" itu mendiskusikannya dengan situasi politik mutakhir.


Setiap Suro (tahun baru Jawa), menurut Budyapradipta, Soedjono Hoemardhani bersama Romo Dijat juga pergi ke Padepokan Jambe Pitu di Gunung Selok, Cilacap. Ini adalah padepokan yang lokasinya ditemukan Romo Dijat dan kemudian dibangun oleh Soedjono. Antara kawasan Gunung Srandhil dan Gunung Selok di Cilacap memang terkenal banyak bertebaran petilasan.
Soeharto tidak asing dengan petilasan-petilasan di Cilacap. Adi Suwarto, seorang juru kunci di sana, pernah mengantarkan Soeharto berziarah ke petilasan Kiai Semar Bodronoyo atau Kaki Tunggul Sabdodadi Doyo Amongrogo yang letaknya di sisi selatan Bukit Srandil. "Dua hari sebelum kedatangan Pak Harto, lokasi kami kosongkan. Soeharto datang malam hari hanya sekitar dua jam," kata Adi Suwarto.


Menurut Romo Dijat, dibanding petilasan-petilasan lain, letak geografis Jambe memiliki energi paling kuat dan sangat cocok sebagai tempat menerima dhawuh yang berperan besar dalam hidup. Petilasan Jambe Pitu yang letaknya di Desa Karangbenda, Kecamatan Adipala, sekitar 20 kilometer dari pusat kota Cilacap itu tempatnya memang asri.


Tempo menyaksikan bagaimana lokasi petilasan diteduhi pohon-pohon akasia. Puluhan kera masih dapat kita lihat bergelantungan. Debur ombak Pantai Selatan dari bawah kaki bukit terdengar lembut. Dari puncak pebukitan memandang ke bawah dapat terlihat tepi laut. Pintu gerbang petilasan Jambe Pitu dibangun dari batu hitam candi. Untuk mencapai bangunan petilasan, pengunjung harus melewati jalan berlantai batu hitam sepanjang kira-kira 300 meter. Kompleksnya megah, luasnya sekitar 50 x 30 meter. Tembok setinggi dua meter mengeliling kompleks bangunan.


Bangunan utama berupa rumah kecil. Di atas pintu masuk kita bisa melihat foto Raden Panji Soedijat Prawirokoesoema alias Romo Dijat. Di sebelahnya terdapat bangunan seperti balai-balai berlantai keramik putih. Inilah tempat Romo Dijat memberi petuah-petuah bagi para murid. "Setiap Suro, Rama Dijat akan mencandra tahun yang akan datang," kata Toto Raharjo. Ia adalah cucu Mbah Tomo, juru kunci yang meninggal pada 1997.


Bangunan lainnya berbentuk rumah dengan empat kamar besar berlantai keramik warna hijau tua. Ini adalah kamar-kamar bagi Soedjono dan lingkarannya. Dulu, kenang Budya, Soedjono dan teman-temannya sering berdialog dengan dhawuh dan berdiskusi sampai pagi. Semua dhawuh direkam dan dicatat, bahkan diterbitkan sebagai buku kumpulan dhawuh yang diedarkan di kalangan terbatas. Budya masih menyimpannya sampai sekarang.
***
Soedjono Hoemardani meninggal dunia pada 1986. Soeharto menghadiri pemakamannya. "Saya melihat mata Pak Harto mbrebes mili (berkaca-kaca)," kata Budyapradipta. Ia jarang melihat Soeharto menangis di depan umum. Itu tandanya ia sangat kehilangan sahabat seperguruannya itu. Apalagi, sebelumnya para rama, guru-guru utamanya, juga meninggal.


Banyak kalangan dari dunia kebatinan Jawa melihat, setelah kematian Soedjono Hoemardani, Soeharto seperti kehilangan arah. "The Smiling General" itu seperti jalan sendiri tanpa sahabat dekat. Dari kejawen ia lalu tiba-tiba terlihat mendekati Islam. Bagi sebagian orang Jawa, tindakan Soeharto itu seperti keluar dari rel yang telah digariskan.


Budi Kusumo Putro, putra Rama Dijat, berkisah, sebelum Soeharto berniat menjabat presiden untuk periode ketiga, pada 1982, Rama Dijat sudah mengingatkan agar Soeharto mengurungkan ambisinya. Namun, Soeharto ngotot agar diizinkan menjadi presiden dan memohon agar Romo Dijat memintakan "restu" kepada Tuhan Yang Maha Esa.


Atas permintaan tersebut, akhirnya Romo Dijat melakukan laku (tirakat) melakukan perjalanan ke segenap penjuru Nusantara selama kurang lebih satu tahun. Di berbagai tempat ia melakukan meditasi. "Ayah mendapat wisik, Soeharto bisa menjadi presiden, namun hanya untuk satu periode lagi," tuturnya. Hasilnya itu disampaikan kepada Soeharto. Tempat yang dipilih untuk menyatakan persoalan penting itu adalah di rumah ayah Romo Dijat di Dukuh Gopetan, Desa Gemblegan Kalipotes, Klaten. Sebuah pilihan simbolis, karena itulah tempat untuk pertama kali Soeharto bersedia menjadi murid Rama Dijat.


Pada 1984, Romo Dijat meninggal. Toto Iriyanto, putranya yang lain, menceritakan, pada pertengahan 1987 saat proses pemilihan umum berlangsung, saat melaksanakan tahajud, dia merasa mendapat wisik dari almarhum ayahnya. "Tulung kandanono kadangmu Soeharto (tolong kasih tahu saudaramu Soeharto)."


Inti wisik itu memperingatkan agar Soeharto lengser. Toto diperintahkan agar menemui Soeharto dengan membawa jantung pisang raja, jeruk Bali, serta kelapa gading (kelapa kuning). Jantung pisang raja adalah simbol kekuasaan, jeruk bali simbol agar kekuasaan itu dikembalikan, kelapa gading adalah simbol masa keemasan. "Intinya, Soeharto harus menanggalkan kekuasaannya di saat masa keemasannya," tutur Toto.


Toto mulanya ragu menyampaikan pesan itu, namun akhirnya Toto berkeyakinan harus datang ke istana. Selang beberapa hari, berangkatlah Toto menemui Soeharto di istana seorang diri. Toto hampir tak lolos dari pemeriksaan Pasukan Pengaman Presiden. Beruntung saat itu Soeharto sedang keluar dari pintu utama istana hendak masuk ke dalam mobil. Sambil mengisap cerutu, Soeharto langsung melambaikan tangannya kepada Toto. Rupanya Soeharto masih mengenali wajah putra gurunya.
Keduanya terlibat dalam percakapan singkat dalam bahasa Jawa. Toto langsung menceritakan dirinya mendapat wangsit agar menyerahkan tiga simbol tersebut kepada Soeharto. Soeharto pun menerima baki berisi jantung pisang raja, jeruk bali, dan kelapa gading. "Wis tak tampa (saya terima)," kata Soeharto. Toto segera pamit pulang tanpa masuk istana. Soeharto pun bergegas melaju dengan mobil.


Ternyata Soeharto tidak mengindahkan "pesan" tersebut. Ia terus menginginkan tampuk kekuasaan. Kita tidak tahu sejauh mana relevansi kebenaran wisik itu. Tapi tahun-tahun itu sepak terjang bisnis putra-putrinya mendapat sorotan yang kian tajam. Soeharto seperti lupa daratan. Sampai terjadilah krisis moneter dan pada 1998 ia lengser. Tapi itu sudah terlambat. Banyak yang menganggap, apabila ia menaati pesan para gurunya itu, di saat tahun-tahun terakhir hidupnya Soeharto akan lebih selamat.


Sumber: Majalah TEMPO, Edisi 4 - 10 Februari 2008